Senin, 25 Juni 2012

Aku bertanya maka aku dikira bodoh

Alkisah seorang arif yang sakaratul maut mengumpulkan para muridnya. Para murid berkumpul dari yang tercerdas sampai pada yang terbodoh. Mereka berjejer mulai dari yang tercerdas berada di atas kepala sang guru arif sampai pada yang terbodoh berada di bawah kaki pembaringan sang arif. Sang arifpun dikelilingi oleh murid-muridnya sambil bersedih meratapi keadaan gurunya.
Karena murid-murid mengetahui bahwa mereka akan kehilangan gurunya  yang bijak maka serentak mereka mengharapkan agar kiranya sang guru memberikan pesan terakhir kepada mereka tentang kehidupan. Murid yang tercerdas inipun langsung membisikkan ke telinga sang guru “guru berikan kepada kami satu pesan terakhirmu mengenai kehidupan agar kami tak salah dalam melangkah?” sambil menghela napas yang panjang sang gurupun menjawab dengan bisikan yang halus, ia berkata “kehidupan itu bagaikan air” disela-sela sang guru membisikkan ke telinga murid yang tercerdas, keheningan di ruangan itupun menyapa. Mungkin karena kebahagiaan dan kesedihan bercampur aduk. Karena si cerdas mengamati murid-murid yang lain itu sedang membungkam, maka ia membisikkan kepada sisi kanan dan kirinya tentang pesan terakhir guru bahwa guru mengatakan “kehidupan itu bagaikan air” sambil berkata sampaikan kepada yang lain dengan berbisik. Pesan itu disampaikan dari murid yang satu ke murid yang lain dan sampailah pesan itu kepada murid yang terbodoh bahwa kehidupan itu bagaikan air. Akan tetapi si murid yang bodoh itu tidak menerima (mungkin karena tidak paham) apa yang disampaikan oleh gurunya. Murid bodoh itu berkata “apa yang guru maksud dengan kehidupan itu seperti air?” karena suara murid yang bodoh itu bernada agak keras, serentak murid-murid yang lain memandangnya. Beberapa diantara mereka yang jengkel, mendukung, berharap agar suaranya dkurangi dan bahkan sampai pada melaknatnya. Sambil memandangnya, murid yang lain mengatakan hai busman, pesan guru itu sudah sangat jelas maka tidak usah kau mempertanyakannya. Tapi si busman ngotot, ahhhhh saya mau tahu dari guru. Murid yang tercerdaspun menghela napas prihatin akan kebodohan busman, Dengan bijak karena pertengkaran mulai memanas ia berkata, busman… perlu kau ketahui bahwa guru mengatakan demikian karena diantara penggambaran kehidupan yang lebih tepat adalah air, bukan api, tanah, udara maupun langit sekalipun. Apakah engkau tidak mengetahui bahwa yang dimaksud guru adalah ciri-ciri air menggambarkan kehidupan yang mengalir, kehidupan itu penuh dengan tantangan dan air mampu menghadapi setiap rintangan, air itu jernih, air itu menyegarkan kerena kesegarannya memberikan pelipur lara bagi perdamaian (ijtihad). Sungguh, apa yang dikatakan oleh guru kita sangatlah jelas (konsep taabbudi) berhentilah bertanya karena mempertanyakan pesan dari sang guru adalah penghianatan terhadapnya (kafir). Mendengarkan penjelasan dari si cerdas, menambahkan keingintahuannya akan maksud sang guru, dan sekali lagi ia tidak sepakat dengan si cerdas dan bediri memperlihatkan wajahnya kepada sang guru, dengan lantang ia berkata “aku tak mau mendengarkan penjelasan dari kalian, saya hanya mau penjelasan dari guru. Bukan kalian”
Guru yang bijak itu membuka matannya karena mendengarkan curahan hati muridnya yang tepat berada dibawah kakinya. Sejenak ia tersenyum dan merasakan kesakitan. Iapun memberikan aba-aba kepada murid yang tercerdas dan membisikkan jawaban dari muridnya itu. Sang guru berkata sesungguhnya hidup itu bukan seperti air (nasikh-mansukh). Mendengar perkataan gurunya, murid yang cerdas itupun kaget. Disela-sela kaget si cerdas, gurunya mengatakan sampaikan kepada yang lain tentang pesanku ini, dan si gurupun meninggal dunia. Wahai saudara-saudaraku yang baik hati,  tahukah kalian bahwa guru mengatakan bahwa hidup itu bukan seperti air. Mendengarkan hal demikian murid-murid yang lain menangis dan marah. Menangis karena gurunya telah meninggal dunia dan marah karena si bodoh membuat gurunya mendapatkan tekanan dan mempercepat kematian gurunya. Sungguh kebingunganpun membludak pada mereka. Saya tak tahu jika si bodoh ini tidak bertanya kepada sang guru tentang makna dari pesan sang guru.
Saya hanya bisa mengatakan kepada teman-teman bahwa kisah ini sudah saya paparkan ketika saya membawakan bedah buku yang dilaksanakan oleh BEM Fakultas kita. Judul buku yang saya bawakan adalah BERTUHAN TANPA AGAMA karya Bertrand russel.
Kisah diatas adalah penggambaran model keberagamaan masyarakat umum dan mungkin di FAKULTAS kita segelintir atau bahkan dominan seperti demikian. Aku tak tahu mengapa para ulama mempertahankan konsep ta-abbudi, mengapa ijtihad dianggap masih mendapatkan amal meskipun itu salah?, mengapa dalam kitab kita nasikh mansukh berlaku? Sungguh aku ingin menanyakan maksud dari model keberagamaan seperti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar