Senin, 25 Juni 2012

POLITISASI BIROKRASI; Sebuah pendekatan filosofis


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Nicollo machiavelli telah menerangkan pada kita tentang kecendrungan dasar pada diri manusia yakni mempertahankan apa yang dimilikinya dan memenuhi hasrat memilikinya. Dengan mempertimbangkan hal tersebut maka kita akan menemukan kecenderungan dasar manusia yakni kekuasaan politik.
Nama machiavelli sering kali membuat bulu kuduk kita merinding, mungkin hal tersebut karena adanya anggapan bahwa machiavelli dikenal sebagai politikus yang memisahkan kekuasaan dan moralitas. Padahal kita yang hidup pada masa sekarang telah jauh melampaui pemikiran machiavelli yang pada prakteknya antara kekuasaan dan moralitas kita pisahkan, dan bahkan ke-eksistensi-an sebagai manusiapun telah hilang(dehumanisasi).
 Hasrat manusia untuk mempertahankan apa yang dimilikinya merupakan sikap dasar manusia, hal tersebut tidaklah bertentangan dengan apa yang kita alami dalam keseharian kita, bahkan terkadang manusia sering kali di dorong oleh hasrat ingin memiliki itu menjadi bertambah. Dengan cara menggunakan otoritasnya ia bisa melakukan apa saja agar apa yang dimilikinya itu tetap utuh, dengan memanipulasi hukum-hukum dalam mengatur masyarakat.
Untuk memperkokoh kekuasaannya itu ia (meminjam istilah Louis Althuser) membutuhkan aparatus negara agar tercipta yang namanya ideologi(terlepas dari perdebatan terciptanya suatu ideologi, yang jelas penulis memandang bahwa suatu negara juga bisa menciptakan ideologi). Hegemoni (Meminjam istilah antonio gramschi) yang dilakukan suatu negara akan membuat masyarakat ikut serta dalam kebijakan yang dibuat oleh penguasa tersebut, karena masyarakat dengan sendirinya terbawa arus yang deras(hukum negara). Jika hal ini terus berlanjut maka akan menciptakan manusia yang teralienasi dari hakekat dirinya. Sekilas pernyataan tersebut hanyalah paradoksitas belaka tapi bagi penulis ini merupakan suatu fakta yang sering kita jumpai dalam suatu negara(mungkin istilah yang tepat adalah status quo).
Mungkin kita akan sangat terkesima dengan penjelasan jacques derrida mengenai dekonstruksinya, bahwa dekonstruksi menunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah. Atau pernyataan paul stratern “ketika teori tidak bisa diaplikasikan maka aplikasinyalah yang salah padahal teoritikus sangat jarang memahami/mengenal suatu keadaan”
Bisa dikatakan bahwa penguasa telah membuat kebenaran-kebenaran yang absolut dalam dirinya sehingga ketika apa yang terjadi tidak sesuai dengan kebenaran dirinya (egois/arogansi), maka akan dianggap sebagai suatu kesalahan dan bahkan dianggap pembankan dan yang lebih parah lagi dianggap sebagai teroris.
B.     Rumusan masalah
Dengan latar belakang yang penulis paparkan, penulis berusaha untuk merumuskan apa yang akan kita bahas, yakni:
1.      Hakekat politik
2.      Defenisi birokrasi
3.      Makna konsep politisasi birokrasi
4.      Manusia dan kuasa(bentuk pemerintahan)
5.      Politisasi birokrasi dan bentuk-bentuknya yang beragam
6.      Kegunaan politisasi birokrasi dan Tujuannya














BAB II
PEMBAHASAN
1.      Hakekat politik
Aristoteles memulai pembahasan dalam bukunya politics(ditulis tahun 335 SM), dengan kata-kata bahwa “secara alamiah manusia adalah makhluk yang berpolitik”. Dalam bahasa latin Zoon Politicon. Yang dimaksud aristoteles adalah bahwa politik merupakan hakekat keberadaan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Jika dua orang atau lebih berinteraksi satu sama lain, maka mereka tidak terlepas dari keterlibatan dalam hubungan yang bersifat politik[1].
Jika kita menelaah apa yang dikatan oleh aristoteles mengenai politik, maka kita akan menemukan bahwa yang dimaksudnya adalah interaksi sosial, apalagi jika kita merujuk pada awal makna politik itu sendiri yakni Negara Kota. Dengan demikian bahwa politik itu sangat identik dengan adanya suatu struktur/stratifikasi sosial. Dengan berlandaskan pada apa yang dikemukakan oleh aristoteles, maka hakekat dari politik itu sendiri adalah kekuasaan, wewenang dan ketertiban. Agar hakekat dari politik bisa diketahui lebih lanjut, maka dibutuhkan defenisi atas hakekat tersebut.
Kekuasaan: mengikuti pandangan foucoult, istilah kuasa disini merujuk pada “totalitas struktur tindakan” untuk mengarahkan tindakan dari individu-individu yang merdeka. Kuasa dijalankan terhadap mereka yang berada dalam posisi untuk memilih, dan ditujukan untuk memengaruhi pilihan mereka. Maka, kuasa melibatkan “permainan-permainan strategis diantara pihak-pihak yang memiliki kebebasan memilih”[2].
Wewenang: wewenang merupakan suatu posisi yang melatar belakangi adanya suatu pengambilan keputusan dan kebijakan umum agar di patuhi, sedangkan pengambilan keputusan itu sendiri adalah membuat pilihan diantara beberapa pilihan alternatif agar tercapai suatu keputusan final[3]. Dan kebijakan umum adalah suatu kumpulan keeputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih pilihan-pilihan dan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu[4].
Ketertiban: ketertiban merupakan hasil dari adanya kekuasaan dan wewenang, yang ter-asosiasi-kan(meminjam istilah jj rousseau) dimana sesuai dengan keinginan struktur sosial dan hukum-hukum sosial (meminjam istilah emile durkheim, yakni moral).
Dengan memperjelas hakekat dari politik, maka kita dengan mudahnya menelaah segala tindakan, fakta atau keniscayaan suatu masyarakat dengan menggunakan analisis filsafat politik.
2.      Defenisi birokrasi
Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). Dalam konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service atau public administration.
Definisi birokrasi telah tercantum dalam kamus awal secara sangat konsisten. Kamus akademi Perancis memasukan kata tersebut pada tahun 1978 dengan arti kekuasaan, pengaruh, dari kepala dan staf biro pemerintahan. Kamus bahasa Jerman edisi 1813, mendefinisikan birokrasi sebagai wewenang atau kekuasaan yang berbagai departemen pemerintah dan cabang-cabangnya memeperebutkan diri untuk mereka sendiri atas sesama warga negara. Kamus teknik bahasa Italia terbit 1823 mengartikan birokrasi sebagai kekuasaan pejabat di dalam administrasi pemerintahan.
Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar (disarikan dari Blau & Meyer, 1971; Coser & Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam Setiwan,1998).
Sementara itu, dalam Kamus besar bahasa indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
a.       Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan
  1. Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai
a.       Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat, dan
  1. Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
Berdasarkan definisi tersebut, pegawai atau karyawan dari birokrasi diperoleh dari penunjukan atau ditunjuk (appointed) dan bukan dipilih (elected).
Dapat dikatakan bahwa birokrasi merupakan perpanjangan tangan dari penguasa agar melancarkan, menertibkan wewenang dari seorang pemimpin.




3.      Makna konsep politisasi birokrasi
Setelah penulis menjabarkan hakekat dari politik dan birokrasi, maka kita akan dengan mudah menjelaskan makna dari konsep politisasi birokrasi itu sendiri seperti apa. Sesuai dengan hakekat politik itu sendiri bahwa adanya interaksi sosial yang terstruktur(entah berupa stratifikasi ataupun tujuan) dimana ia menggunakan kekuasaan, wewenang dan ketertiban, sedangkan birokrasi merupakan perpanjangan tangan dari penguasa untuk menjalankan ketertiban atas wewenang seorang pemimpin/penguasa. Maka makna dari politisasi birokrasi adalah menstrukturkan(stratifikasi maupun tujuan) tindakan individu yang merdeka agar dipengaruhi dengan menggunakan suatu strategi yang dijalankan oleh perpanjangan seorang pemimpin.
Jika kita telaah lebih jauh maka pada dasarnya yang menjalankan kontrol sosial/politik adalah seorang pemimpin, dimana ia memiliki kuasa dan wewenang atas jalannya suatu pemerintahan. Dengan demikian pemimpinlah yang paling bertanggung jawab atas maju(keilmuannya) dan mulia(bermoral)nya peradaban dunia. Pada kesempatan ini, penulis bukan berarti mengesampingkan sosialitas suatu peradaban, hanya saja penulis lebih melihat kemampuan manusia(dijelaskan di pembahasan berikutnya) terletak pada sejauh mana ia menemukan kunci kehidupan, dan sejauh mana kualitas kemampuan seseorang.
Untuk mendukung apa yang penulis utarakan, marilah kita menengok pemikiran Prof. Dr. Jalaluddin rakhmat ketika ia menjelaskan apa yang dimaksud dengan masalah. Masalah merupakan ketidak sesuaian antara dassein(harapan) dan dassollen(kenyataan). Ia membagi dua masalah yang dialami oleh manusia yakni masalah individu dan masalah sosial, masalah individu berkenaan tentang kemampuan person terhadap masalah yang dialaminya seperti kebodohan dan kemiskinan yang diakibatkan oleh pilihannya sendiri, sedangkan masalah sosial adalah berkenaan tentang kebijakan maupun keputusan suatu struktur yang disalah gunakan(disasosiasi) sehingga menciptakan masyarakat yang miskin(pemiskinan) dan bodoh(pembodohan). Dan meminjam istilah ali syari’ati bahwa keduanya merupakan penjara bagi manusia(teralienasi oleh hegemoni sistim thoghut). Dengan demikian yang penulis maksud dari suatu pertanggung jawaban seorang pemimpin adalah hal yang berkenaan dengan masalah sosial.








4.      Manusia dan kuasa(bentuk pemerintahan)
Penulis sengaja mengambil tema ini karena penulis melihat keterpurukan terjadi karena hukum-hukum Tuhan, Alam dan Manusia tidak ditempatkan pada porsi ketentuannya. Jika hal ini terjadi terus menerus di kehidupan yang sementara ini, maka akan menimbulkan suatu kontradiksi(dalam artian epistemologis bukan ontologis) dan tidak akan terjadi suatu struktur(stratifikasi dan tujuan) sosial yang maju dan mulia.
Banyak buku-buku yang berisikan teori sosiologi untuk menawarkan suatu perubahan sosial yang ideal agar struktur(stratifikasi dan tujuan) sosial menuju pada suatu peradaban yang maju dan mulia. Pada dasarnya terjadinya suatu perlawanan atas pemerintahan dikarenakan adanya kesadaran dasar yang terganggu(meminjam istilah murthadha muttahhari). Sebelum penulis menjelaskan lebih jauh masalah kesadaran dasar ini maka penulis terlebih dahulu menjelaskan mengapa manusia membentuk suatu masyarakat(dalam istilah aristoteles zoon politicon) seperti bagaimana? Dan kapan terpahami pada manusia bahwa ia adalah makhluk yang berpolitik? Sebelum menjawab kedua pertanyaan diatas ada hal yang paling subtansial yang kita bahas yakni manusia itu apa dan bagaimana?
Apa dan bagaimana itu manusia?
Terlepas dari perdebatan-perdebatan tentang defenisi manusia, penulis sangat sepakat dengan penjelasan murthadha muttahhari ketika ingin mendefenisikan manusia, yakni ia yang mengembangkan ilmu dan imannya agar tercipta peradaban yang maju dan mulia. Muttahhari menjelaskan bahwa para pemikir humanisme/kemanusiaan mendefenisikan bahwa manusia itu adalah makhluk yang memiliki rasa tanggung jawab, cinta, kasih sayang dan lain-lain hanyalah menyentuh pada satu dimensi eksistensi manusia dan itu hanya benar pada eksistensi yang dimaksudkan. Ilmu dan iman manusia inilah yang mengantarkannya pada suatu kemerdekaan dan inilah menjadi dasar pijakan manusia untuk melakukan segala sesuatu. Hanya saja tidak bisa dipungkiri bahwa manusia itu sendiri yang mengungkung kemerdekaannya entah itu dari segi defenisi, tingkah laku maupun kesadarannya. Tentang bagaimana itu manusia? Kita akan menemukan jawaban bahwa manusia memiliki kecendrungan pada hal-hal yang individual dan sosial yang di ejawantahkan pada sifat yang ada pada dirinya, yakni jamal(keindahan) dan jalal(kekuatan). Pengejawantahan kedua sifatnya itu menentukan struktur(stratifikasi dan tujuan) sosial diarahkan kemana. Untuk lebih jelasnya pembahasan kita mengenai manusia ini marilah kita melanjutkan pertanyaan yang sempat di singgung, yakni
Bagaimana manusia membentuk suatu masyarakat?
Apa yang dimaksud dengan masyarakat? Dari pertanyaan ini secara garis umum ada dua pendapat mengenai masyarakat, yakni pada pendekatan perilaku dan fakta sosial. Pada pendekatan perilaku lebih menekankan pada personifikasi dalam bertindak bahwa pada dasarnya apa yang kita anggap sebagai masyarakat hanyalah hasil dari gabungan antar prilaku individu yang satu dengan yang lainnya, sedangkan pada pendekatan fakta sosial menekankan bahwa apa yang dilakuakan manusia berupa tingkah leku antar satu dan yang lainnya tidak dianggap sebagai suatu fakta dan memang terjadi. Misalkan seorang mahasiswa yang takut memaki-maki polisi jika sendirian, tapi kalau ia berkumpul untuk memaki polisi? Maka lain ceritanya, ia pasti berani. Hal seperti itu tidak bisa dijadikan bahwa ia bukanlah suatu fakta sosial yang niscaya bagi masyarakat.
Jika kita mengamati dasar pemikiran mereka pada dasarnya keduanya benar dari segi eksistensinya masing-masing. Dengan demikian individu maupun masyarakat pada dasarnya niscaya akan keberadaannya. Dari ulasan diatas kita dengan mudahnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mayarakat adala berkumpulnya individu-individu yang memiliki tujuan ideal.
Lantas kapan masyarakat dikatakan berpolitik? Manusia berpolitik ketika ia telah menjalin suatu kekuasaan, kewenangan danketertiban dalam mencapai tujuan yang ideal tersebut.
Dengan demikian kita bisa melihat bahwa manusia dalam membentuk suatu pemerintahan dalam bermasyarakat maupun berpolitik sangat tergantung pada instrumen seorang ahli dalam menemukan kunci-kunci rahasia Tuhan, Alam dan manusia itu sendiri. Secara garis umum jika kita melihat bentuk pemerintahan pada dasarnya hanya dipimpin oleh seorang saja, entahkah ia akan membuat sistem yang thoghut ataupun Ilahiah. Sebenarnya dalam politiksasi birokrasi terletak pada sistem yang dibawakan oleh seorang pemimpin.
5.      Politisasi birokrasi dan bentuk-bentuknya yang beragam
Telah dijelaskan politisasi birokrasi pada pembahasan kita yang lalu, maka apa-apa saja yang tergolong dalam bentuk politisasi politik itu? Meminjam istilah louis althuser yang aparatus negara. Hal ini bisa dilihat ketika kita memerhatikan PNS, televisi, agama dan banyak macamnya
6.      Kegunaan politisasi birokrasi dan tujuannya
Mempertahankan kekuasaan yang diraih merupakan tujuan dari politisasi politik, agar hasrat untuk mempertahankan milik itu terjaga. Dalam penggunaan inilah sehingga para penguasa mempertahankan apa yang telah diraihnya.








Bab III Penutup
1.      Saran
Lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuk kegelapan dan lebih baik menyalakan lilin dari pada menyanjung terang
2.      Kesimpulan
Politisasi politik merupakan sarana untuk mempertahankan dan menjalankan kuasa seorang pemimpin. Terlepas dari struktur(stratifikasi dan tujuan)nya, yang jelasnya bahwa moralitas sangat menentukan baik(Ilahiah) dan buruk(thoghut)nya suatu pemerintahan.


[1] Drs. Teuku May Rudy. Sh, Pengantar Ilmu Politik; Wawasan Pemikiran dan Kegunaannya, PT Refika Aditama, Bandung, Cet. Ketiga, 2007 Hal. 1
[2] Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Mizan, Bandung, Cet. Pertama, 2005, Hal. 38
[3] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, Cet. Kesebelas, 1988, Hal. 11
[4] Ibid, Hal. 12

1 komentar: