Terkesima
dengan pernyataan Erick fromm “manusaia modern adalah manusia yang teralienasi
dari dirinya”. Sungguh pernyataan ini sangatlah sederhana tapi makna yang
disampaikannya begitu mengena pada diri kita masing-masing, hal ini karena kita
seringkali mengukur diri kita pada apa yang ada di luar diri kita, sehingga
diri kita sendiripun terabaikan. Aku heran mengapa manusia begitu pusing
mencari barangnya yang hilang, padahal ia lupa bahwa dirinya telah jauh dari
kemanusiaannya. Pernahkah kita menanyakan pada diri kita bahwa kita ini apa…?
Mengapa hal itu tidak kita pertanyakan pada diri kita sendiri..?
Mengukur
diri pada hal-hal yang berada diluar diri kita merupakan bentuk yang akan
menjadikan kita pada krisis identitas, krisis identitaspun merupakan trend
pemuda yang justru dia banggakan. Begitulah manusia yang selalu mengukur dan
memposisikan derajat dirinya diluar dari dirinya sendiri(Eksistensialisme).
Mengukur bahwa ia adalah manusia kalau dia itu punya harta yang banyak/kaya
raya, populer dan sebagainya. Misalkan saja tolak ukur laki-laki beken kalau
dia punya mobil atau paling banter motor Kawasaki, sehingga, sedemikian
sehingga perempuan bisa tertarik pada dirinya. Misalkan tolak ukur perempuan
cantik jika ia memperlihatkan keelokan
tubuhnya, sehingga, sedemikian sehingga laki-laki bisa tertarik padanya.
Sungguh saya menyebut hal ini sebagai dosa aksiologis. Bagaimana tidak
penyalahgunaan(mistaken identity) nilai-nilai yang dilakukannya membuat manusia
jauh akan kemanusiaannya. Efek dari ini semua membuat hal-hal yang pada
prinsipnya sebagai sesuatu yang sacral menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja,
hal ini karena budaya-budaya popularitas yang menghegemoni kehidupan ini.
Pernahkah teman-teman memperhatikan disekitar teman-teman ada yang membanggakan
dirinya telah banyak kali naik haji? Naik haji
bukan lagi dilihat dari seberapa besar kualitas kita, melainkan seberapa
banyak naik haji, dan dari sini pulalah sehingga kita bisa mengukur strata
social.
Perlu
kiranya saya memberikan pendapat salah satu teman saya di SMA dulu, dia
mengirimi saya sms pada, tanggal 02 Agustus 2011 jam 22:59:31. Tulisan smsnya
seperti ini “Jangan bangga berkulit putih karena kulit terakhir kita adalah Tanah
Liat, Jangan bangga dengan rumah bagus dan besar karena rumah terakhir kita
adalah Kuburan, Jangan bangga dengan baju bagus karena baju terakhir
kita adalah kain Kafan, Jangan bangga dengan mobil dan motor karena
kendaraan terakhir kita adalah Keranda”. Ahaaaa.. teman-teman jangan
asal baca sms ini tapi pahami dan renungkan. Oh iya teman saya ini namanya Esih Kurniasih. Ehemmm siapa tahu
teman-teman mau kenalan dengan dia, dia itu juara tomakappa,tomalolo (tampan,CANTIK)
Polewali Mandar. Ini nomor handphone-nya 085242716627, silahkan tanyakan apa
makna dari sms itu, Oh iya jangan bilang-bilang ya kalau kalian ambil nomornya
dari membaca tulisan ini.. nanti dimarahika kodong.. heeee
Tahukah
teman-teman bahwa penyalahgunaan yang dilakukan oleh kita sendiri memiliki
konsekuensi bahwa kita tak akan mendapatkan kebahagiaan.? Ketidaksadaran kita
akan keterpurukan itu justru menjadi jembatan kita terhadap sikap pesimisme
menjalani hidup.? Bayangkan jika sikap pesimisme itu yang justru mendarah
daging pada diri kita? Jelas bahwa hal demikian itu akan membuat kita mencari
pelarian dalam hidup ini. Pelarian-pelarian yang menjauhkannya pada
kemanusiaan.
Krisis
identitas yang dialami manusia saat ini begitu sangat memprihatinkan, Padahal
dengan sangat jelas Murtadha Muthahhari menjelaskan pada kita
bahwa manusia adalah ia yang senantiasa meningkatkan Ilmu dan Iman-nya
agar menciptakan suatu Peradaban. Peradaban masyarakat dikatakan Maju jika
ilmunya tinggi, dan peradaban dikatakan Mulia jika imannya tinggi.
Untuk
mencapai hal ini perlu kiranya kita menetapkan suatu perubahan akan diri,
keluarga, suku, bangsa dan kesemestaan, agar menciptakan peradaban yang maju
dan mulia. Manusia akan mencapai kebahagiaan jika keharmonisan hubungan antar
sesama manusia itu terwujud. Sangat indah anggapan salah satu pendapat yang
lazim kita dengar bahwa perbedaan itu indah dan sekaligus menyakitkan.
Keindahan suatu perbedaan karena dengannya kita bisa bijak menilai sesuatu,
bahwa pada diri sesuatu memiliki kemampuannya tersendiri. Dan menyakitkannya
suatu perbedaan karena seringnya kita memposisikan diri bahwa diri kitalah yang
terbaik sedang yang lainnya itu buruk.
Sekedar
info nich, kalau prinsip hidupku itu “Lebih Baik Menyalakan Lilin
Daripada Mengutuk Kegelapan Dan Lebih Baik Menyalakan Lilin Daripada Menyanjung
Terang”. Ok.. saya akan berikan ilustrasi dari satu kasus yang sama
tapi orang yang berbeda. Misalkan 2 hamba yang ingin menyembah Tuhan yang
dimana keduanya memiliki kemampuan yang berbeda, kita sebut saja si AWWAM
dan si ALIM. Si Awwam yang sangat pemalas ini, jika datang waktu
shalat ia selalu melawan rasa malasnya untuk tidak shalat itu dengan berniat
saya harus shalat..saya harus shalat..pokoknya saya harus bisa, meskipun hal
tersebut bersusah payah ia lakukan dan tidak tepat waktu, hingga pada akhirnya
ia melakukan kewajibannya pada sang Khalik sebagai hamba yang shaleh. Sedang si
Alim jika mendekati/datangnya waktu shalat, jika ia merasa malas maka ia tidak
akan melakukan shalat karena dalam benaknya shalat dengan keadaan memaksakan
diri adalah bentuk ketidakikhlasan menyembah pada sang Khalik, sehingga ia
menenangkan dirinya sampai pada betul-betul merasa damai dan ikhlas dalam
melakukan penyembahan, ketika ia sudah ikhlas maka iapun melakukan kewajibannya
pada sang Khalik sebagai hamba yang shaleh. Coba kita menganalisis dari apa
yang dilakukan kedua hamba tersebut ketika datang waktu shalat? Maka kalian
akan menemukan tingkat kualitas kemampuan yang berbeda. Jika kita menggunakan
sudut pandang kebenaran, maka teman-teman pasti menilai bahwa apa yang
dilakukan si awwam adalah ketidakbenaran sedangkan si alim bertindak dengan
kebenaran (pandangan ini dilihat dari kualitas kebenarannya). Tapi bagi penulis
Tuhan itu Maha Bijaksana yang melihat hambanya sesuai dengan
persangkaanya (jika menggunakan sudut pandang kebijaksanaan).
Memang
benar bahwa menyembah kepada Tuhan, meski dengan keikhlasan manusia (terang)
karena semua yang kita lakukan tanpa didasarkan pada ikhlas adalah perbuatan
yang sia-sia. Tapi jika kita melihat pada sudut pandang kemampuan seseorang itu
sendiri, maka hal yang paling bijak untuk kita nilai adalah posisinya yang
belum sampai pada kualitas ikhlash yang sesungguhnya. Timbul pertanyaan
kemudian “Apakah kita meski memaksakan orang tersebut pada saat ini agar ia
juga sampai pada kualitas yang sama? Ikhlash misalkan”. Jawabannya adalah
no..no.. and no… why? Sederhana… contoh
tauladan kita adalah Nabi Muhammad SAW, Ia tak pernah memaksa manusia untuk
ikut pada agama yang di Imaninya. Mau bukti? Teman-teman cari saja buku-buku
mengenai kehidupan Rasul tentang capaiannya yakni Piagam Madinah.
Nah
dengan demikian kita bisa memposisikan seseorang sesuai dengan kemampuannya,
entah ia termasuk orang-orang yang memiliki Krisis Identitas. ingat loch bahwa
dalam islam kita mengenal yang namanya konsep Dakwah. Kasian mereka, sudah
berada dijalan yang salah, eeehhhh disalahin lagi kasian… rugi 2 kali dong..
seyogyanya kita menyadarkan dia akan posisinya sekarang ini. Bantulah mereka
agar menyeru kepada-Nya, bukan berbuat anarkis pada mereka. Ok..?
Misi
kita sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW. adalah bagaimana membumikan konsep Hablumminannasi
dan Hablumminallahi. Tadi saya sudah menyindir bagaimana kita
bisa mencapai yang namanya peradaban yang maju dan mulia, dengan melakukan
perubahan akan diri, keluarga, suku, bangsa dan kesemestaan, agar menciptakan
peradaban yang maju dan mulia. Manusia akan mencapai kebahagiaan jika
keharmonisan hubungan antar sesama manusia itu terwujud. Tapi ingat ada dimensi
yang sepatutnya kita dahulukan yakni bagaimana keterhubungan antar manusia itu
sejalan dengan Kehendak-Nya[1].
Oh
iya agar teman-teman mudah memahami apa yang saya sampaikan ini, maka kita
harus membagi 3(tiga) dorongan manusia dalam melakukan hal apapun. Yakni; pertama
motivasi intrinsic (hal yang berkaitan dengan pemanfaatannya bagi diri
sendiri), kedua motivasi ekstrinsik (hal yang berkenaan dengan
pemanfaatannya bagi diluar dirinya),dan yang ketiga motivasi Ilahiah
(hal yang berkenaan dengan pemanfaatannya bagi Kehendak-Nya). Motivasi
Intrinsik dan Ekstrinsik itu berada pada lingkar Hablumminannasi sedangkan
Motivasi Ilahiah termasuk pada lingkar Hablumminallahi. Dan masing-masing dari
itu memiliki tingkat kualitas kebahagiaan yang berbeda.
Secara
Ontologis yang berubah hanyalah lingkar Hablumminannasi. Ingat..
keduanya bukanlah bertentangan tapi Pemilahan. Ok?... Misalnya
dalam satu aktifitas (bersedekah misalnya), kita langsung melakukan kedua
lingkar itu. Sesama manusia karena kita membantu orang-orang yang tidak mampu,
kepada Tuhan karena kita tengah melakukan/menjalankan Kehendak-Nya. Tuhan tak
pernah berubah, hanya saja manusialah yang seringkali merubah tujuannya
(mistaken identity) karena bisa jadi ketidaktahuan atau keegoannya yang
membuatnya memilih jalan yang salah. Timbul pertanyaan mengapa meski ada perubahan? Apa itu perubahan? Adakah tujuan dari
perubahan?[2]
Sebelum
saya menjawab pertanyaan ini, ada kiranya teman-teman meski menjawab pertanyaan
saya, yakn apakah kalian ingin bahagia?
Jika
kalian ingin bahagia apa yang anda lakukan untuk mencapainya? Jawabannya sangat
sederhana, yakni PERUBAHAN. Dengan demikian kita bisa mengetahui
apa yang dimaksud dengan perubahan, yakni adanya suatu potensi yang akan
teraktualkan. Dan mengapa meski ada perubahan.? Karena kita ingin mencapai
kebahagiaan yang ideal.
Saya
membagi kebahagiaan menjadi 3 kualitas, bahagia secara Intrinsik adalah
capaian-capaian yang membuat diri kita sendiri merasa bahagia. Bahagia secara
Ekstrinsik adalah capaian-capaian yang membuat keluarga, suku, bangsa dan
kesemestaan merasa bahagia karena perbuatan kita. Bahagia secara ideal adalah Actuspurus
tujuan manusia(Ilahi) karena telah mencapai keharmonisan akan rasa Damai
dan Berkeadilan. Pemberi itu semua adalah Ilahi, bisa dikatakan bahwa
bahagia yang ketiga ini terbentuk dari motivasi Ilahiah. Dengan demikian tujuan
dari perubahan itu sendiri adalah bagaimana menyempurnakan ilmu dan iman
sehingga terciptanya peradaban tauhid. Dan itulah yang dilakukan oleh
Rasulullah. Ia adalah manusia (sempurna) yang berhasil membumikan konsep-konsep
tauhid maupun kebahagiaan ideal dalam kehidupan sehari-hari meski masih ada
yang Krisis Identitas.
Pertanyaan
yang muncul kemudian, apakah kita mampu berbuat seperti yang dilakukan
Rasulullah? Bagaimana caranya? Saya akan menjawab pertanyaan ini bukan dari
pendekatan ilmu-ilmu sosial tapi pada pendekatan motivasi[3].
Saya terkagum dengan kata-kata “Kenalilah Dirimu Maka Engkau Akan
Mengenal Tuhanmu”.
Sebelum
menjelaskan lebih lanjut saya ingin bertanya kepada teman-teman. Apakah kalian
sudah paham prinsip ini? “Lebih Baik Menyalakan Lilin Daripada Mengutuk
Kegelapan Dan Lebih Baik Menyalakan Lilin Daripada Menyanjung Terang”[4].
Coba
teman-teman renungkan bahwa di dalam benak kita terjadi yang namanya pikiran
oposisi biner yang tidak bisa kita nafikan. Pikiran kita ada yang mengarah
pada: kanan-kiri, depan-belakang, menang-kalah, lawan-kawan, salah-benar dan
seterusnya. Kemudian tanyakan pada diri teman-teman, apakah hanya itu pikiran
kita? Apakah tidak ada jalan lain? Ketika hal itu teman-teman pertanyakan dan
menemukan jawabannya, maka secara tidak langsung teman-teman tengah berusaha
untuk berpikir Holistic.
Saya
menangkap makna kenalilah dirimu maka engkau mengenal tuhanmu. Ilustrasinya
seperti ini. Apakah anda marah kalau saya mencacimaki anda? Jika ya, maka
dirimu telah sampai pada lingkar hablumminannasi yang diri. Ok saya lanjutkan
apakah anda marah kalau saya memperkosa adik perempuanmu(kalau tidak punya adik
perempuan anggap saja ada yaaaa)? Jika ya, maka dirimu telah sampai pada
lingkar hablumminannasi yang keluarga. Ok saya lanjutkan lagi, apakah anda
marah jika suku/kampung/etnismu diserang oleh suku/kampung/etnis lain (misalnya
kalau orang sekampungmu diserang dengan orang lain dengan mengatasnamakan
kampung/etnis yang berbeda)? Jika ya, maka dirimu telah sampai pada lingkar
hablumminannasi yang suku. Ok lanjut terus saya Tanya nih, apakah anda marah
kalau negerimu yang tercinta ini tiba-tiba di serang oleh Negara lain sehingga
terjadi peperangan? Jika ya, maka dirimu telah sampai pada lingkar
hablumminannasi yang bangsa. Lanjut teruuuuuuus, apakah anda marah jika dunia
ini dikuasai/dihancurkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab? Jika ya,
maka dirimu telah sampai pada lingkar hablumminannasi yang semesta. Pertanyaan
terakhir, apakah anda marah jika agamamu diselewengkan oleh orang-orang yang
mengatasnamakan nilai-nilai kebenaran padahal kepentingannya/thoghut? Jika ya,
maka dirimu telah sampai pada lingkar hablumminallahi.
Jelas
mengenal diri bukan hanya marah tok,, saya hanya memudahkan teman-teman
memahami diri yang dimaksud itu apa. Yaaaaa supaya tidak berdebat, masukan
ajach pertanyaan-pertanyaan saya dengan kebahagiaan. Apakah anda bahagia jika
mendapatkan kekasih yang anda taksir? Bahagiakah anda dengan melihat saudara anda
telah menikah? Bahagiakah anda jika bercocok tanam di kampungmu itu berhasil?
Bahagiakah anda dengan melihat Indonesia ini makmur? Bahagiakah anda ketika
dunia ini damai? Bahagiakah anda jika Tuhan memberimu hidayah?[5]
Tahukah
teman-teman jika kita telah sampai/bisa mengendalikan diri yang lebih tinggi,
justru membuat kita mempermudah menyelesaikan masalah diri yang lebih rendah?
Dan bahkan meniadakan diri yang rendah itu? Ingat… Rasulullah telah sampai pada
diri yang tertinggi sehingga ia mampu menyelesaikan masalah ummat. Maka dari
itu terkadang kita melihat kehidupan Rasul penuh dengan perjuangan bukan
sebagai pengorbanan. Oh iya saya pernah mendengar bahwa perjuangan itu butuh
pengorbanan. Apakah itu betul? Ahhhh tidaklahhhhhh. Kita mengatakan hal demikian karena kita hanya sampai melihat
hal yang terluar pada orang tersebut. Padahal dia telah melakukan hal yang
memang pencapaian dirinya sampai pada hal yang tertinggi, sehingga diri yang
rendah itu tidak lagi menjadi pengorbanan, tapi karena memang hal tersebut
telah tiada(anggapan) pada dirinya.
Lantas
apa yang dimaksud dengan mistaken identity?
Mistaken
identity adalah penyalahgunaan dan kesalahan dalam menentukan suatu keberadaan
diri, Menganggap bahwa yang ada hanyalah dirinya. Intinya tahu kelebihan dan
tahu kelemahan sehingga, apa yang meski saya lakukan dan apa yang bisa saya
berikan? Apakah anda sudah menjadi manusia sempurna seperti nabi Muhammad? Ya
atau tidak. Pasti tidak, terus anda ini apa? Jawabannya ada di lingkar
hablumminannasi. Sampaikah kesadanku pada diri, keluarga, suku, bangsa dan
kesemestaan? Ataukah kesadaranku baru mencapai diri? atau baru mencapai
keluarga? atau baru mencapai suku? atau baru mencapai bangsa? atau sudah sampai
pada kesemestaan?
Sekali
lagi karena saat ini kita tidak seperti kualitas nabi, maka saran saya “Lebih
Baik Menyalakan Lilin Daripada Mengutuk Kegelapan Dan Lebih Baik Menyalakan
Lilin Daripada Menyanjung Terang”.
Ok….
Mulai sekarang saya tidak akan membuat jidak teman-teman menjadi berkerut, saya
sengaja memaparkan hal diatas karena alasan bahwa teman-teman ini adalah
mahasiswa, seyogyanya teman-teman tahu mengenai filsafat, Sebelum lebih jauh
melangkah pada wacana lain.
Bagi
penulis, teman-teman akan jauh lebih mudah memahami wacana lain jika diawal
belajarnya teman-teman adalah wacana filsafat. Seringkali penulis mengatakan
pada teman-teman yang lain bahwa saya belajar tentang bagaimana belajar, saya
berpikir tentang bagaimana berpikir. Jika tahu dasar maka kamu akan mudah
mengetahui yang kompleks.
Sebenarnya
apa yang saya paparkan diatas merupakan dasar dari apa yang akan saya bahas
nantinya, mungkin teman-teman akan menganggap bahwa yang telah saya jelaskan
itu adalah sesuatu yang sulit padahal bagi penulis hal demikian itu adalah
dasar-dasar dari apa yang ingin kita capai nantinya[6].
Selamat
membaca….
1. JATI
DIRI
Pembahasan
tentang jati diri manusia telah lama menjadi wacana pada kita yang bertujuan
menyadarkan manusia akan eksistensinya. Banyak perspektif mengenai jati diri
manusia yang digunakan oleh pemikir-pemikir untuk mengetahui kedirian manusia
itu sendiri, memiliki pendapat dan sudut pandang yang berbeda, ada yang
menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki tanggungjawab, makhluk
yang memiliki rasa cinta, makhluk yang mengetahui sejarahnya dan banyak hal
lagi seputar kemanusiaan. Bagi saya argumentasi-argumentasi yang dibangun itu
merupakan satu sisi yang ada pada manusia, sehingga ia dapat dibenarkan dari
sisi yang dipandang itu. Jika kita ingin mengetahui manusia yang bisa
melingkupi semua anggapan-anggapan yang ada maka seyogyanya kita menjelaskan
sebagaimana hakekat kedirian manusia itu sendiri, yakni manusia adalah ia yang
senantiasa mengembangkan ilmu dan imannya untuk mewujudkan peradaban yang maju
dan mulia. Untuk memudahkan teman-teman memahami apa yang saya paparkan ini,
saya akan menggunakan perspektif psikologi suprapersonal dimana ia membahas
pada diri manusia, bahwa manusia itu memiliki struktur dalam dirinya yakni
mind, spirit dan soul. Akan tetapi saya juga punya pendekatan tersendiri
mengenai hal tersebut yakni mind, emosi dan soul.
Mind,
emosi dan soul masing-masing memiliki fungsi yang strategis bagi manusia untuk
membuat dia melakukan sesuai dengan intruksi ketiganya. Mind (pikiran)
merupakan cakrawala yang sering dipakai manusia untuk menyelesaikan masalahnya,
tapi itu tidak cukup ketika emosi tidak terbangun, yakni keberanian dan rasa
bahagia yang kita dapatkan ketika mengontrolnya, adapun peran dari soul itu
sendiri adalah kecendrungan-kecendrungan yang dominan pada diri kita. Biasanya
terjadinya mistaken identity pada seseorang karena ia lalai menggunakan
ketiganya. Dalam pikiran, emosi maupun soul kita, didesain mencari nikmat
mengindari akan kesengsaraan. Dan karena desain ini pula sehingga banyak
diantara kita yang salah kaprah mengenai hal tersebut. Kita dapat memilih dan
memilah apa yang akan kita lakukan kedepannya merupakan suatu kebaikan ataukah
suatu keburukan, itu sangat tergantung pada nilai apa yang menjadi standarisasi
kita. Standarisasi dari nilai inilah sehingga kita bisa menilai apa yang
terjadi pada diri maupun lingkungan menjadi sesuatu yang baik maupun buruk.
Masalah
adalah kata kunci dari semua yang kita alami dan solusinyapun sangat tergantung
dari kemampuan kita menjalani hidup. Apakah mengarah pada perbaikan ataukah
justru mengarah pada keterpurukan. Dengan demikian dibutuhkan kekonsistenan
dari nilai-nilai yang kita anggap sacral. Masalah memiliki komponen yang sangat
kompleks untuk dihadapi sehingga apa yang menjadi harapan kita(das-sein) sukar
untuk direalisasikan menjadi suatu kenyataan(das-sollen). Dibutuhkan ilmu dan
moralitas yang baik dan relevan agar ia bisa menjadi pengubah, pengontrol dari
perkembangan suatu bangsa.
Masalah
yang kita hadapi bukan saja hanya dari segi eksternal saja, melainkan titik
dominan pada internal kita sendiri karena tidak mengetahui jati diri. Saya
meminjam istilah senior saya(kanda Muhammad ramli yang disapa ramest)
mengistilahkan hal tersebut sebagai krisis identitas. Tepatnya mistaken
identity ini adalah hal yang subtantif dan menjadi pekerjaan/tugas kita.
Pengaruh eksistensialisme terhadap manusia membuat manusia jauh akan dirinya
sendiri, kata yang sering kita dengar adalah kata “YANG PENTING SENANG”.
Jalan
hidup yang kita pilih ini sebagai bukti bahwa melemahnya identitas kita sebagai
pemuda, pemuda tidak lagi menjadi ikon RAKYAT dari suatu gerakan
melainkan sebagai budak BIROKRAT. Perlu ditekankan bersama bahwa
mengenal diri adalah bentuk yang paling fundamental dalam suatu kelompok.
Jadilah rausyan fikr(dalam istilah ali syari’ati) agar kita mampu menyadarkan
masyarakat atas ketidakadilan yang terjadi sehingga kita mampu menciptakan
stabilitasi social yang ideal.
Ingat…!
orang yang tahu diri adalah ia yang berterimakasih, berterimakasih adalah
mensyukuri apa yang diberi dan memberikan apa yang kita mampu. Perbanyaklah
memberi dan sasikan apa yang terjadi padamu.
2. JALAN
HIDUP
Jalan
hidup merupakan konsekuensi logis dari apa yang kita lakukan sebagai makhluk
yang memiliki pilihan. Pilihan-pilihan kitapun sangat terpengaruhi oleh
kebijakan yang sempat kita temukan, semakin sedikit kebijakan yang tersedia
maka semakin sulit kita dapatkan pilihan yang terbaik, kita hanya akan bisa
mendapatkan pilihan dari apa yang tersedia saja. Antara pilihan dan kebijakan
tidaklah seperti suatu oposisi binner saja meskipun terkadang diantara
kebebasan memilih kita bertentangan dengan kebijakan yang ada. Yang perlu kita
pikirkan bersama bahwa kebebasan memilih kita tidaklah bertentangan dengan
kebijaksanaan yang ada. Ketidak sepakatan kita bukan pada kebijaksanaan yang
ada tapi kebijaksanaan yang tersedia saja dihadapan kita, karena kebebasan
memilih merupakan hal yang mutlak maka ia harus tersalurkan dan sesuai dengan
kebenaran.
Bisa
dikatakan bahwa kebebasan memilih kita adalah apa yang menjadi harapan kita
sedangkan kebijaksanaan adalah kenyataan yang terjadi atau hukum yang tersedia.
Jika kita mendapatkan ketidak sesuaian yang terjadi dengan apa yang menjadi
harapan kita bersama, akan membuat kita melakukan suatu perlawanan, Perlawanan-perlawanan
atas nama negara, manusia dan hamba. Maka dari itu yang bisa kita lakukan
adalah pengaruh dan mempengaruhi masyarakat agar bersama melawan penindasan. Mengikuti
pandangan foucoult, istilah kuasa disini merujuk pada “totalitas struktur tindakan”
untuk mengarahkan tindakan dari individu-individu yang merdeka. Kuasa
dijalankan terhadap mereka yang berada dalam posisi untuk memilih, dan
ditujukan untuk memengaruhi pilihan mereka. Maka, kuasa melibatkan
“permainan-permainan strategis diantara pihak-pihak yang memiliki kebebasan
memilih”[7].
Hanya saja kita tidak bisa memungkiri bahwa tujuan, kemampuan, maupun misi
seseorang sangat berbeda dan karena perbedaan inilah dibutuhkan suatu cara agar
kita bisa menyatukan persepsi kita terhadap apa yang terjadi agar lebih baik.
Dengan
demikian tak ada jalan lain yang terlepas dari hegemoni, Yakni adanya pengaruh
dari luar agar kita memilih yang terbaik. Dari itu untuk mengontrol ataupun
mengendalikan suatu pengaruh sangat ditentukan oleh identitas kita. Jika kita
salah dalam menentukan identitas(krisis identitas) maka konsekuensinya
dipengaruhi sedang jika identitas kita kuat maka memungkitnkan untuk
mempengaruhi.
Sebagai
pemuda sangat dibutuhkan identitas yang matang, identitas yang matang identik
dengan intelektualitas dan spritualitas karena dengan itu kita bisa membangun
peradaban yang maju dan mulia. Mau atau tidak kitalah yang akan melanjutkan estafet
peradaban, maka dari itu membentuk identitas yang tercerahkan(rausyan fikr
dalam istilah ali syari’ati) akan membuat kita siap dengan warisan tersebut.
Moralitaslah
sebagai hukum sosial yang menentukan apakah pemuda-pemuda memiliki identitas
yang benar atau salah, jika ia mudah dipengaruhi oleh tantangan zaman maka
jelas ia akan menjadi korban zaman dan salah menentukan identitasnya, akan
tetapi jika ia bisa mengendalikannya maka ialah pemuda sejati, pemuda yang
memberikan arti pada kehidupan, pemuda yang bisa memberikan inspirasi bagi
sesamanya dan berguna bagi nusa dan bangsa. Sebagai pemuda, jalan yang terbaik
untuk menempuh kebahagiaan adalah dengan menyadarkan masyarakat, memberikan
masyarakat akan hak-haknya, memperlihatkan contoh yang baik kepada masyarakat
dan yang terpenting adalah perjuangan pada arah yang lurus.
Ingat...!
Mendahulukan pemikiran itu penting asalkan kita mampu bijak dengan pemikiran
orang lain, pemikiran orang lain itu memudahkan kita menemukan kebijaksanaan
yang susah payah didapatkan orang tersebut.
3. TANTANGAN
ZAMAN
Perkembangan zaman di satu sisi membawa pengaruh positif bagi
pemuda, namun di sisi lain juga berdampak negatif. Seperti sudah di bahas
sebelumnya, bahwa perkembangan zaman dapat membawa pemuda terbawa arus
perubahan zaman. Dakwah islam saat ini menghadapi tantangan yang lebih
kompleks. Menyebarnya ajaran-ajaran barat yang kemudian mencemari jiwa
keislaman membuat pemahaman umat islam terhadap islam berada pada titik yang
terlemah. Realitas yang ada masa kini adalah munculnya berbagai macam ideologi
di dunia yang bertolak dengan ajaran islam. Secara tidak kita sadari paham-paham
tersebut menyebabkan kaum muslim menjadi berkelompok-kelompok.
Permasalahan utama yang harus dihadapi oleh kaum muslimin sesungguh nya adalah bagaimana menegakan kembali hukum yang diturunkan Allah. Dari permasalahan tersebut maka kita dapat melihat banyaknya tantangan yang harus dihadapi pemuda muslim, diantaranya.
Permasalahan utama yang harus dihadapi oleh kaum muslimin sesungguh nya adalah bagaimana menegakan kembali hukum yang diturunkan Allah. Dari permasalahan tersebut maka kita dapat melihat banyaknya tantangan yang harus dihadapi pemuda muslim, diantaranya.
1. Masalah
Ideologi
Saat ini banyak ideologi yang menyebar dan sesungguhnya
bersumber dari kekufurun manusia terhadap Allah SWT karena paham-paham tersebut
tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam. Seperti paham kapitalisme yang
memisahkan urusan agama dengan Negara. Sehingga peraturan-peraturan yang
terdapat di Negara yang menetapkannya sepenuhnya berasal dari manusia. Selain
itu juga terdapat faham kapitalisme yang tujuan utama dari paham ini adalah
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menekan biaya yang harus
dikeluarkan. Sangat jelas merebaknya kapitalisme menyebabkan Negara-negara
berkembang menjadi semakin dirugikan, sebalik nya dengan Negara maju yang
mendapat banyak keuntungan. Hal ini dapat menyebabkan pemuda-pemuda muslim
menjadi kritis identitas dengan identitasnya sebagai seorang muslim sehingga
mudah terbawa arus. Selain itu juga akan menimbulkan sikap hedonisme dan
pragmatisme, yaitu terlalu mementingkan urusan duniawi serta mengenyampingkan
urusan agama dan semua aturan hidup nya berdasarkan peraturan yang dibuat oleh
manusia.
2. Masalah Sosial-Budaya
Lahirnya faham liberalisme yang merupakan paham kebebasan
yang menghendaki adanya kebebasan individu dalam berinteraksi menimbulkan sikap
bahwa setiap individu memiliki hak dan privasi yang harus dihormati. Sikap ini
kadang terlalu membebaskan seseorang sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak
seiring dengan agama. Disamping itu Westernisasi yang identik dengan budaya
popularitas dan hedonisme juga merebak di kalangan pemuda, dampaknya akan
berakibat ajaran islam menjadi ajaran yang dianggap asing bagi mereka karena
ajarannya dianggap terlalu kuno dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
3. Masalah Ekonomi
Sebagian besar Negara dengan mayoritas penduduknya islam
adalah Negara berkembang. Sehingga kemiskinan adalah permasalahan yang harus
dihadapi umat muslim. hal ini disebabkan oleh lemahnya semangat juang dan
lemahnya semangat saling berbagi. Selain itu system perekonomian masih
didominasi oleh system kapitalisme sehingga sistem ekonomi yang sesuai dengan syariah islam masih jauh
dari impian. Inilah yang menjadi tantangan bagi pemuda untuk mengobarkan
semangat perjuangannya agar dapat
berjuang memajukan bangsa serta umat islam.
4. Masalah Politik
Berkembangnya sistem demokrasi menyebabnya banyak
terbentuknya partai-partai islam, sehingga umat islam terpecah-pecah menjadi
beberapa golongan. Selain itu umat islam cenderung menjadi objek politik bukan
menjadi subjek sehingga cenderung menjadi target politik.
Permasalahan-permasalahan tersebut menjadi tantangan bagi
pemuda untuk dapat menghadapinya. Hal yang dapat dilakukan oleh generasi muda
adalah dengan berpegang teguh pada ideologi islam dalam menghadapi tantangan
zaman karena ketika kita telah berpegang pada ideologi islam sesungguhnya kita
telah menggunakan aqidah dan syariah islam tanpa menguranginya sedikitpun,
sehingga hukum yang berlaku pun datangnya dari Allah bukan buatan manusia. Maka
ketika ada suatu permasalahan kita dapat mengkajinya terlebih dahulu kemudian
mencari pemecahannya dengan menggunakan syariah islam. Jika kita dengan
menjalankan syariah islam dengan sebenar-benarnya maka niscaya permasalahan
dunia dapat kita hadapi.
4. PRINSIP
PEMUDA
Peristiwa
masa lalu adalah cerita yang tersimpan dalam memori kita, kemudian menjadi
kenangan masa depan yang masih suci.
Merefleksikan kembali sumpah pemuda yang terjadi 83 tahun yang lalu adalah
bagian untuk menata masa depan(revitalisasi), semangat kesatuan, senasip dan
sepenanggungan dan rasa memiliki tanah air menjadi alas an tercetusnya hari
sumpah pemuda. Kemudian nasionalisme adalah bekal dari golongan pemuda untuk
bersatu dalam peristiwa 28 oktober 1928. Adalah Sugondo Cahyo Puspito dan A.G.
Pringgodigdo sebagai bagian dari generasi muda kala itu. Mereka merupakan
pencetus terjadinya peristiwa bersejarah bagi kaum muda Indonesia dan terkenang
hingga hari ini. Ikrar sumpah pemuda yang kini menjadi diktum gerakan pemuda
adalah sebuah komitmen perjuangan bersama untuk mencapai kemerdekaan bangsa.
Dampaknya
luar biasa, gerakan golongan muda tersebut menjadi tonggak balik langkah
perjuangan kemerdekaan pada masa itu. Di mana, sebelumnya, perjuangan hanya
dilakukan oleh beberapa golongan. Pasca itu, arah perjuangan semakin terlihat
dilakukan secara kolektif kolegial.
Wajar
mengapa golongan muda selalu dielu-elukan sebagai ahli waris estafet perjalanan
bangsa di masa yang akan datang. Sebab, generasi muda adalah yang mampu berdiri
atas idealismenya dan berjuang menurut sisi-sisi keidealan. Oleh sebab itu,
generasi muda disebut juga sebagai kaum intelektual dalam bahasa Ali Syari’ati
adalah rausyanfikr ( kaum tercerahkan).
Tak
berhenti sampai di situ. Menyambut abad milenium sekali lagi golongan muda
membuktikan konsistensinya menjadi agen perubahan bangsa. Dengan meruntuhkan
rezim otoritarian Soeharto turun dari tampuk kepemimpinan. Tentu ini prestasi
besar bagi bangsa Indonesia, menumbangkan rezim yang lebih dari 30 tahun
bercokol menguasai kekayaan rakyat Indonesia. Asa besar rakyat Indonesia
tersemat di pundak pemuda yang meneriakkan reformasi. Bergandengan tangan,
menyinergikan semua kekuatan seperti halnya apa yang ditunjukkan pada peristiwa
sumpah pemuda. Fenomena membahagiakan, di mana negeri yang terhimpun dari
berbagai suku, etnis, dan ras mampu tegak berdiri.
Namun
pascareformasi, gelombang pergerakan generasi muda seperti disorientasi
perjuangan. Proses perubahan ini didasari oleh adanya perkembangan teknologi
dan informasi yang terinfiltrasi ke dalam ruang hidup masyarakat termasuk di
dalamnya generasi muda. Budaya dari berbagai peradaban pun bercampur aduk dalam
satu nuansa atau dalam bahasa Samuel P. Huntington disebut sebagai
universalisme budaya dalam bahasa lain dinamakan globalisasi. Universalisme budaya
ini mencirikan pemikiran yang didominasi oleh rasio, budaya fashion, ekonomi
kapitalis, free sex, gerakan feminisme ekstrem, dan terkuburnya spritualitas.
Era
globalisasi ini diasosiasikan oleh masyarakat dengan munculnya internet pada
1990-an kemudian disebut era modernisasi. Periode ini juga ditandai adanya
kekacauan di belahan dunia lain (Francis Fukuyama:2000). Kejahatan dan kekacauan sosial meningkat, di
Indonesia sendiri kekacauan sosial atau konflik justru didominasi oleh golongan
muda, dengan klasifikasi umur antara 15-25 tahun. Ivan Illich (Menggugat Kaum
Kapitalis: 1978), mengatakan bahwa modernisme mengharuskan manusia untuk
berperilaku kompetitif. Relevansi ini kemudian memunculkan sebuah reaksi, salah
satunya adalah pergeseran nilai budaya dalam kehidupan sehari-hari, terutama
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sementara
proses asimilasi kebudayaan barat (tempat asalnya modernisme) ke dalam budaya
Indonesia lebih banyak diprakarsai oleh generasi muda. Hal ini sangat
disayangkan karena komponen masyarakat yang paling vital adalah generasi muda
tersebut.
Disparitas
kondisi yang dialami masa kini adalah akumulasi dari peristiwa-peristiwa masa
lalu, dan adanya faktor eksternal yang berkontribusi besar terhadap bergesernya
nilai-nilai kehidupan di Indonesia. Pada akhirnya generasi muda Indonesia
seperti kehilangan identitas kebudayaan. Individu yang tak berkebudayaan
seperti itu akan gampang menerima nilai dan dimensi, sehingga ciri-ciri bawaan
etnisnya akan hilang (Ali Syari’ati).
Generasi
muda kini adalah generasi yang dibesarkan di atas komponen-komponen kebudayaan
barat. Maka tingkah laku dan pola berpikir terkontaminasi oleh paradigma barat
yang serba instan dan bersifat matrialistik. Di sisi lain penguatan identitas
bangsa dalam hal ini adalah ideologi bangsa Indonesia (Pancasila) tak kunjung
selesai bahkan hanya menjadi retorika politik dan jargon-jargon perdamaian yang
senyatanya hanya alat untuk kepentingan-kepentingan elit politik, tanpa
didasari oleh semangat nasionalisme. Semangat kebersatuan golongan muda pun
semakin hari kian luntur, ditandai dengan maraknya konflik antar suku,
golongan, dan ideologi agama layaknya barbarianisme. Fenomena ini telah
disampaikan oleh Ivan Illich sebagai dampak modernisasi sehingga hubungan
kultural dan historis berubah menjadi individualitas.
Reformasi
dan kepemimpinan SBY dianggap gagal, karena tidak mampu memenuhi segala
kebutuhan dan harapan masyarakat Indonesia. Pengkhianatan terhadap tujuan
negara yang termaktub dalam UUD 1945 dianggap sebagai dosa besar pemerintahan
SBY saat ini. Sudah seharusnya pemuda muncul sebagai problem solver.
Bagaimanapun pemuda memiliki tanggung jawab sejarah, komitmen terhadap
perjuangan, dan bertanggung jawab ke apa yang telah diperbuat. Apalagi, pemuda
memiliki ikatan sejarah dalam regulasi perjalanannya.
Demikian
pula sesuai dengan khitahnya, bahwa pemuda sebagai generasi pioner dalam setiap
perubahan zaman. Haruslah dibuktikan dalam dimensi yang konkret dan nyata.
Namun, kondisi hari ini menyeret masyarakat untuk berperang di medan peradaban
dan kebudayaan yang bersifat maya atau tidak nyata, namun dampaknya sangat bisa
kita rasakan dan sistemik. Untuk itu, pemuda wajib mempelajari kembali
kebudayaan di mana tempat dia berada (cultural studies). Menurut Henry Giroux
bahwa cultural studies, sebagai bentuk perlawanan terhadap kondisi yang berasal
dari kebudayaan yang dianggap tidak relevan dan cenderung bersifat negatif.
Cultural Studies pun mengajak masyarakat meneropong masa lalu untuk menjadi
kajian masa kini dan kemudian memberikan solusi terhadap masa depan.
Tidak
berlebihan jika Ali Syari’ati mengatakan bahwa masyarakat muda adalah kaum
tercerahkan (Rausyanfikr). Generasi yang dianggap mampu memberikan solusi dan
langsung menjadi aktor langsung dalam praktik teorinya. Maka dengan segala
kemampuan intelektual yang ada, generasi muda Indonesia haruslah menata kembali
kebudayaan asli Indonesia. Menyerap kebudayaan asing adalah hal yang
diperbolehkan, harus pula diletakkan pada posisi yang tepat, agar tepat guna.
Sebab, kebudayaan adalah perwujudan mayoritas karya suatu ras atau bangsa yang
bersifat nasional. Tidaklah tepat dalam hal ini menggantikan budaya Indonesia
sebagai hasil karya rakyat Indonesia dengan budaya barat atau dalam bahasa
lain ’’meng-Indonesia-kan budaya barat’’.
Untuk
melawan kebudayaan luar yang merusak tatanan kehidupan masyarakat, haruslah
menggunakan ideologi bangsa yang disepakati bersama oleh masyarakat. Karena
kata ideologi biasa diasosiasikan dengan kaum intelektual, dan pemuda adalah
bagian dari kaum intelektual yang tercerahkan ’’kaum tercerahkan’’. Ideologi
mampu membimbing manusia untuk berjalan sesuai dengan tujuan ideal yang
diinginkan untuk merubah sebuah tatanan sosial masyarakat lebih baik. Dan
ideologi dianggap mengandung keyakinan dan gagasan yang ditaati oleh suatu
masyarakat, ras kelompok ataupun bangsa. Oleh sebab itu ideologi menuntut
generasi muda untuk setia (committed) terhadap ideologi bangsanya.
Sejarah
sudah menggoreskan tinta emas terhadap apa yang pernah dilakukan dan
dikorbankan oleh pemuda Indonesia dalam setiap perjalanan bangsa. Sumpah pemuda
adalah warisan yang sampai saat ini masih tetap hidup sebagai romantisme masa
lalu, untuk itulah setiap tanggal 28 Oktober kita peringati sebagai hari sumpah
pemuda.
Kondisi
rakyat hari ini betul-betul sangat menyedihkan saat kemiskinan semakin
menghantui kehidupan masyarakat, tayangan televisi justru menawarkan kehidupan
yang mewah. Pemerintah pun seakan membiarkan rakyatnya menyelesaikan masalahnya
sendiri. Dalam situasi inilah semangat pemuda dibutuhkan untuk merubah kondisi
bangsa dan menjawab segala keinginan dan harapan masyarakat Indonesia yang juga
memiliki kekayaan negari ini.
Sebagai
generasi intelektual yang tercerahkan, sudah sepatutnya pemuda mengetahui
masyarakatnya, sadar akan masalahnya, dapat menentukan nasibnya, banyak
mengetahui masa lampaunya, dan mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri.
Peristiwa heroik sumpah pemuda sudah lama berlalu, namun manifesto pemuda atas
rasa memiliki bangsa dan tanah air semestinya menjadi diktum yang tidak
terbatas oleh ruang dan waktu. Meski kondisi zaman hari ini membayang-bayangi
setiap langkah pemuda layaknya bom waktu yang setiap saat dapat memberangus
eksistensi pemuda, komitmen perjuangan haruslah terus dikumandangkan. Masa lalu
biarkan menjadi cerita yang dapat kita ambil hikmahnya untuk menata masa depan
yang lebih baik.
Ingat...!
Menjadi yang teraik dari yang terbaik tidak hanya dilihat dari sejauh mana
prestasi yang diraih, tapi lebih jauh dilihat dari sejauh mana kemanfaatan yang
kita lakukan, bahwa apa yang kita lakukan bermanfaat untuk diri kita, orang
lain dan diridhoi tuhan.
5. PEMUDA
dan PERUBAHAN SOSIAL
Peran
pemuda dalam perubahan sosial di indonesia sangatlah penting, mulai dari
prakemerdekaan sampai pada reformasi, meskipun pada saat ini peran pemuda belum
nampak dipermukaan. Maka dari itu untuk menampakkan peran kita diperlukan suatu
gerakan yang visioner, disamping gerakan reaksioner tak bisa kita elakan karena
tantangan dalam gerakan tetap ada. Dalam suatu gerakan dibutuhkan suatu gerakan
yang visioner karena jika tidak maka gerakan yang kita bentuk tak akan bertahan
lama. Ciri-ciri dari gerakan yang visioner adalah memiliki idealitas, jangka
panjang, bernilai dan profesional. Timbul anggapan bahwa, apakah kita tidak
membutuhkan suatu gerakan yang bersifat reksioner..? tentu jawaban yang
sederhananya diperlukan sebagai penopang gerakan yang kita idam-idamkan. Dari
kedua gerakan tersebut memiliki prioritas yang berbeda, disisi lain ada yang
jangka pendek yang identik pada masa kini dan kemaanfaatan pribadi atau
kelompok dan ada pula yang jangka panjang yang identik pada masa yang akan
datang dan kebersamaan.
Sebelum lebih
jauh masuk pada gerakan yang kita bentuk ini perlu kiranya kita mengetahui
mengapa kita membutuhkan suatu perubahan sosial, berangkat dari pemikiran Jacques Derrida tentang dekonstruksinya. DEKONSTRUKSI adalah sebuah
metode pembacaan teks. dekonstruksi menunjukkan bahwa dalam
setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang
dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu
hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan
tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir
sebagai jejak yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.
Jacques
Derrida
menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu
kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final.
Inilah yang Derrida sebut sebagai Logosentrisme.
Yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika
tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi,
Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks. Dekonstruksi merupakan teori baru
dan cara pandang baru untuk mencapai pengetahuan, yang diperkenalkan oleh
derrida. Dekonstruksi, merupakan teori kritik yang mengkonstruk ulang
pengetahuan yang dianggap baku. Dekonstruksi berpandangan bahwa kita tidak bisa
menetapkan sesuatu yang dianggap terkonstruk dengan baik itu adalah sesuatu
yang benar. Karena manusia memiliki kemampuan tersendiri dalam memahami
realitas ini. Pemikiran manusia yang dinamis dan kontekstual ini, merupakan
konsekuensi logis dari cepatnya perubahan yang terjadi di masyarakat. Misalnya
saja ketika struktuktur menentukan bahwa tolak ukur senior di dalam kampus adalah
orang-orang yang angkatannya lebih tinggi, sedang angkatan yang lebih rendah
dianggap sebagai junior dalam kampus. Dengan demikian status quo adalah bentuk ketidakrelevanan
suatu kondisi, dan dengan sendirinya sebagai pemuda yang akan merubah itu.
Dari
itu perlu diketahui bersama bahwa terjadinya perubahan sosial dikarenakan
faktor orang besar dan ideas. Orang besar inilah yang akan membentuk dan
merubah pandangan masyarakat tentang apa yang terjadi, yakni suatu bentuk
penyimpangan-penyimpangan seperti pemiskinan dan pembodohan. Pada dasarnya
perubahan-perubahan yang kita usung merupakan perubahan dari sisi struktural
dan kultural. Dan jika satu sisi saja yang ingin kita goalkan maka berakibat
fatal bagi kita sendiri.
Bagaimana
seorang individu membentuk suatu masyarakat..? sesuai dengan defenisi
masing-masing bahwa individu merupakan hal yang tidak terpisahkan(person) dan
masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang memiliki tujuan yang sama dan
ideal. Individu membentuk suatu masyarakat berawal dari 1. Individu+individu
menjadi keluarga, 2. Keluarga+keluarga menjadi suku, 3.suku+suku menjadi
bangsa, dan 4. bangsa+bangsa menjadi kesemestaan. Dengan demikian awal dari
pembentukan ini adalah orang besar dan ideas agar membentuk peradaban. Sebagai
pemuda kita diharuskan mendapatkan jati diri kita, dimana ia identik dengan
peran dan tanggung jawab. Sadar akan peran dan tanggung jawab kita sebagai diri
sendiri, keluarga, suku, bangsa dan kesemestaan.
Dalam
hubungan individu dan masyarakat perlu pula kita melihat sisi lain dari itu
yakni kemanfaatan dan keutamaannya. Dalam hal ini penulis membagi tiga motivasi
kita dalam melakukan sesuatu, yakni motivasi intrinsik, motivasi ekstrinsik dan
motivasi ilahiah. Motivasi intrinsik adalah apa yang menjadi keutamaan dan
kemanfaatan bagi diri kita, sedang motivasi ekstrinsik adalah apa yang menjadi
keutamaan dan kemanfaatan bagi orang banyak dan yang terakhir adalah motivasi
ilahiah yakni keutamaan dan kemanfaatan penyadaran kita bahwa manusia adalah
hamba dari sang Khalik. Jika diantara ketiganya ada yang bertentangan maka
memungkinkan gerakan kita tak akan bertahan lama. Motivasi inilah sebagai
alasan mengapa kita melakukan suatu perubahan, dan jika hal ini terganggu maka
terjadilah perlawanan. Lawan kita bukanlah kultur maupun struktur yang
ada(kebijakan yang tersedia), melainkan karena terjaadi pembodohan dan
pemiskinan.
Ingat..!
kejayaan bukanlah dilihat karena terbukti kita tidak pernah jatuh dari
perjuangan kita, melainkan
kejayaan sejati terletak dari kesadaran kita bahwa kejatuhan yang kita alami
ini dirubah.
Akhir
kata penulis sampaikan kepada teman-teman “lebih baik menyalakan lilin daripada
mengutuk kegelapan dan lebih baik menyalakan lilin daripada menyanjung terang”.
Terima
kasih...!
[1]
Maaf jika kata yang penulis pilih masih membuat jidak teman-teman berkerut.
Pada tulisan ini saya tetap mempertahankan kata-kata yang ada dalam filsafat.
Tapi bagi teman-teman yang belum menyentuh wacana tersebut, tidak usah
khawatir. Kalian juga punya giliran kok.. saran saya teruskan saja bacanya,
kalian akan menemukan penjelasan yang terkait dengan itu secara sederhana.
Ok..? semangat indonesia bro….!
[2]
Saya tidak akan membahas filsafat perennial disini karena tulisan ini sengaja
saya hadiahkan kepada teman-teman mahasiswa baru. Bukan berarti saya
menyepelehkan mereka karena ketidaktahuan pada filsafat perennial, hanya saja
kita harus bijak menilai bahwa kesenjangan antara dunia sekolah dan kampus itu
sangat jauh. Tapi bagi teman-teman yang sudah terlanjur menjadi senior
dikalangan mahasiswa, kalau mau baca silahkan. Ketika tulisan ini sudah sampai
di tangan kalian saya tidak punya hak lagi atas itu. Sengaja mempertanyakan hal
tersebut karena penulis melihat banyaknya teori-teori social yang tak filosofis
memandang suatu perubahan.
[3]
Saran saya kalau mau membumikan konsep hablumminannasi dan hablumminallahi,
dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial, teman-teman silahkan baca bukunya Prof. Dr.
Jalaluddin Rakhmat yang berjudul Rekayasa Sosial.
[4]
Sejarah prinsip ini saya finalkan, ketika saya mengikuti Intermediate
HMI Cab. Pangkep. Waktu itu saya mengikuti materi idiopolitorstratak,
dan pembicaranya menyebut kata lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk
kegelapan, serentak saya terpukau dengan kata tersebut karena saya menangkap
hikmah/makna dari kata-kata itu. Awalnya saya hanya berprinsip seperti itu
karena saya selalu pesimis akan nasib HMI Komisariat Ushuluddin jika senior
kami sudah tidak ada di kampus. Sehingga saya sering menggembar-gemborkan
prinsip ini kepada teman-teman yang lain, yang tentunya pesimis akan nasib
kita. Karena saya sering mengatakan hal itu pada orang-orang yang pesimis,
senior (ka’ ramest) saya menegur saya. Saya ingat betul waktu itu saya terkesan
sebagai orang yang terlalu arogan dengan pemikiran saya sendiri(sok pintar),
hingga dia mengeluarkan kata-kata de’ bahkan saya jauh lebih sepakat dengan kata
lebih baik menyalakan lilin daripada menyanjung terang. Ia jelaskan bahwa
seringnya terjadi perselisihan karena kedua belah pihak sama-sama merasa berada
dijalan yang benar. Sejak saat itu saya selalu merenungkan apa yang selama ini
saya lakukan ternyata adalah kekonyolan-kekonyolan diri. Sehingga pada akhirnya
saya mendapatkan jawabannya yakni kedua kata itulah prinsip hidupku. Jujur…
tulisan ini adalah hasil dari pengalaman saya pribadi yang berusaha saya
sistematiskan untuk dipelajari bagi mahasiswa baru. Misi saya di kampus adalah
ingin agar budaya diskusi di kampus kembali sehingga ini tidaklah sebagai
wacana Revitalisasi.
[5]
Kalau mau tau masalah ini secara filosofis teman-teman silahkan baca buku
manusia dan alam semesta karya murtadha muthahari.
[6]
Heeeeeeee…. Dasar aja sulit bagaimana yang kompleksnya yaaaaa? Oh iya
teman-teman tidak usah khawatir karena teman-teman menganggap itu sulit
dikarenakan masih jarangnya mendengarkan atau membahas kata perkata atau
argument-argumen yang saya jelaskan.
[7]
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Intelegensia Muslim
Indonesia Abad Ke-20, Mizan, Bandung, Cet. Pertama, 2005, Hal. 38
Harus belajar lagi nulis2 artikel
BalasHapusBelajar menjadi Pemuda baik di Tantangan Zaman jaman Now..
BalasHapusCoach Jonathan Leman juga tentunya masih belajar dan berbagi untuk generasi yang lebih baik