Selasa, 12 Juni 2012

PEMUDA DAN TANTANGAN ZAMAN


Terkesima dengan pernyataan Erick fromm “manusaia modern adalah manusia yang teralienasi dari dirinya”. Sungguh pernyataan ini sangatlah sederhana tapi makna yang disampaikannya begitu mengena pada diri kita masing-masing, hal ini karena kita seringkali mengukur diri kita pada apa yang ada di luar diri kita, sehingga diri kita sendiripun terabaikan. Aku heran mengapa manusia begitu pusing mencari barangnya yang hilang, padahal ia lupa bahwa dirinya telah jauh dari kemanusiaannya. Pernahkah kita menanyakan pada diri kita bahwa kita ini apa…? Mengapa hal itu tidak kita pertanyakan pada diri kita sendiri..?
Mengukur diri pada hal-hal yang berada diluar diri kita merupakan bentuk yang akan menjadikan kita pada krisis identitas, krisis identitaspun merupakan trend pemuda yang justru dia banggakan. Begitulah manusia yang selalu mengukur dan memposisikan derajat dirinya diluar dari dirinya sendiri(Eksistensialisme). Mengukur bahwa ia adalah manusia kalau dia itu punya harta yang banyak/kaya raya, populer dan sebagainya. Misalkan saja tolak ukur laki-laki beken kalau dia punya mobil atau paling banter motor Kawasaki, sehingga, sedemikian sehingga perempuan bisa tertarik pada dirinya. Misalkan tolak ukur perempuan cantik jika  ia memperlihatkan keelokan tubuhnya, sehingga, sedemikian sehingga laki-laki bisa tertarik padanya. Sungguh saya menyebut hal ini sebagai dosa aksiologis. Bagaimana tidak penyalahgunaan(mistaken identity) nilai-nilai yang dilakukannya membuat manusia jauh akan kemanusiaannya. Efek dari ini semua membuat hal-hal yang pada prinsipnya sebagai sesuatu yang sacral menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja, hal ini karena budaya-budaya popularitas yang menghegemoni kehidupan ini. Pernahkah teman-teman memperhatikan disekitar teman-teman ada yang membanggakan dirinya telah banyak kali naik haji? Naik haji  bukan lagi dilihat dari seberapa besar kualitas kita, melainkan seberapa banyak naik haji, dan dari sini pulalah sehingga kita bisa mengukur strata social.
Perlu kiranya saya memberikan pendapat salah satu teman saya di SMA dulu, dia mengirimi saya sms pada, tanggal 02 Agustus 2011 jam 22:59:31. Tulisan smsnya seperti ini “Jangan bangga berkulit putih karena kulit terakhir kita adalah Tanah Liat, Jangan bangga dengan rumah bagus dan besar karena rumah terakhir kita adalah Kuburan, Jangan bangga dengan baju bagus karena baju terakhir kita adalah kain Kafan, Jangan bangga dengan mobil dan motor karena kendaraan terakhir kita adalah Keranda”. Ahaaaa.. teman-teman jangan asal baca sms ini tapi pahami dan renungkan. Oh iya teman saya ini  namanya Esih Kurniasih. Ehemmm siapa tahu teman-teman mau kenalan dengan dia, dia itu juara tomakappa,tomalolo (tampan,CANTIK) Polewali Mandar. Ini nomor handphone-nya 085242716627, silahkan tanyakan apa makna dari sms itu, Oh iya jangan bilang-bilang ya kalau kalian ambil nomornya dari membaca tulisan ini.. nanti dimarahika kodong.. heeee
Tahukah teman-teman bahwa penyalahgunaan yang dilakukan oleh kita sendiri memiliki konsekuensi bahwa kita tak akan mendapatkan kebahagiaan.? Ketidaksadaran kita akan keterpurukan itu justru menjadi jembatan kita terhadap sikap pesimisme menjalani hidup.? Bayangkan jika sikap pesimisme itu yang justru mendarah daging pada diri kita? Jelas bahwa hal demikian itu akan membuat kita mencari pelarian dalam hidup ini. Pelarian-pelarian yang menjauhkannya pada kemanusiaan.
Krisis identitas yang dialami manusia saat ini begitu sangat memprihatinkan, Padahal dengan sangat jelas Murtadha Muthahhari menjelaskan pada kita bahwa manusia adalah ia yang senantiasa meningkatkan Ilmu dan Iman-nya agar menciptakan suatu Peradaban. Peradaban masyarakat dikatakan Maju jika ilmunya tinggi, dan peradaban dikatakan Mulia jika imannya tinggi.
Untuk mencapai hal ini perlu kiranya kita menetapkan suatu perubahan akan diri, keluarga, suku, bangsa dan kesemestaan, agar menciptakan peradaban yang maju dan mulia. Manusia akan mencapai kebahagiaan jika keharmonisan hubungan antar sesama manusia itu terwujud. Sangat indah anggapan salah satu pendapat yang lazim kita dengar bahwa perbedaan itu indah dan sekaligus menyakitkan. Keindahan suatu perbedaan karena dengannya kita bisa bijak menilai sesuatu, bahwa pada diri sesuatu memiliki kemampuannya tersendiri. Dan menyakitkannya suatu perbedaan karena seringnya kita memposisikan diri bahwa diri kitalah yang terbaik sedang yang lainnya itu buruk.
Sekedar info nich, kalau prinsip hidupku itu Lebih Baik Menyalakan Lilin Daripada Mengutuk Kegelapan Dan Lebih Baik Menyalakan Lilin Daripada Menyanjung Terang. Ok.. saya akan berikan ilustrasi dari satu kasus yang sama tapi orang yang berbeda. Misalkan 2 hamba yang ingin menyembah Tuhan yang dimana keduanya memiliki kemampuan yang berbeda, kita sebut saja si AWWAM dan si ALIM. Si Awwam yang sangat pemalas ini, jika datang waktu shalat ia selalu melawan rasa malasnya untuk tidak shalat itu dengan berniat saya harus shalat..saya harus shalat..pokoknya saya harus bisa, meskipun hal tersebut bersusah payah ia lakukan dan tidak tepat waktu, hingga pada akhirnya ia melakukan kewajibannya pada sang Khalik sebagai hamba yang shaleh. Sedang si Alim jika mendekati/datangnya waktu shalat, jika ia merasa malas maka ia tidak akan melakukan shalat karena dalam benaknya shalat dengan keadaan memaksakan diri adalah bentuk ketidakikhlasan menyembah pada sang Khalik, sehingga ia menenangkan dirinya sampai pada betul-betul merasa damai dan ikhlas dalam melakukan penyembahan, ketika ia sudah ikhlas maka iapun melakukan kewajibannya pada sang Khalik sebagai hamba yang shaleh. Coba kita menganalisis dari apa yang dilakukan kedua hamba tersebut ketika datang waktu shalat? Maka kalian akan menemukan tingkat kualitas kemampuan yang berbeda. Jika kita menggunakan sudut pandang kebenaran, maka teman-teman pasti menilai bahwa apa yang dilakukan si awwam adalah ketidakbenaran sedangkan si alim bertindak dengan kebenaran (pandangan ini dilihat dari kualitas kebenarannya). Tapi bagi penulis Tuhan itu Maha Bijaksana yang melihat hambanya sesuai dengan persangkaanya (jika menggunakan sudut pandang kebijaksanaan).
Memang benar bahwa menyembah kepada Tuhan, meski dengan keikhlasan manusia (terang) karena semua yang kita lakukan tanpa didasarkan pada ikhlas adalah perbuatan yang sia-sia. Tapi jika kita melihat pada sudut pandang kemampuan seseorang itu sendiri, maka hal yang paling bijak untuk kita nilai adalah posisinya yang belum sampai pada kualitas ikhlash yang sesungguhnya. Timbul pertanyaan kemudian “Apakah kita meski memaksakan orang tersebut pada saat ini agar ia juga sampai pada kualitas yang sama? Ikhlash misalkan”. Jawabannya adalah no..no.. and no…  why? Sederhana… contoh tauladan kita adalah Nabi Muhammad SAW, Ia tak pernah memaksa manusia untuk ikut pada agama yang di Imaninya. Mau bukti? Teman-teman cari saja buku-buku mengenai kehidupan Rasul tentang capaiannya yakni Piagam Madinah.
Nah dengan demikian kita bisa memposisikan seseorang sesuai dengan kemampuannya, entah ia termasuk orang-orang yang memiliki Krisis Identitas. ingat loch bahwa dalam islam kita mengenal yang namanya konsep Dakwah. Kasian mereka, sudah berada dijalan yang salah, eeehhhh disalahin lagi kasian… rugi 2 kali dong.. seyogyanya kita menyadarkan dia akan posisinya sekarang ini. Bantulah mereka agar menyeru kepada-Nya, bukan berbuat anarkis pada mereka. Ok..?
Misi kita sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW. adalah bagaimana membumikan konsep Hablumminannasi dan Hablumminallahi. Tadi saya sudah menyindir bagaimana kita bisa mencapai yang namanya peradaban yang maju dan mulia, dengan melakukan perubahan akan diri, keluarga, suku, bangsa dan kesemestaan, agar menciptakan peradaban yang maju dan mulia. Manusia akan mencapai kebahagiaan jika keharmonisan hubungan antar sesama manusia itu terwujud. Tapi ingat ada dimensi yang sepatutnya kita dahulukan yakni bagaimana keterhubungan antar manusia itu sejalan dengan Kehendak-Nya[1].
Oh iya agar teman-teman mudah memahami apa yang saya sampaikan ini, maka kita harus membagi 3(tiga) dorongan manusia dalam melakukan hal apapun. Yakni; pertama motivasi intrinsic (hal yang berkaitan dengan pemanfaatannya bagi diri sendiri), kedua motivasi ekstrinsik (hal yang berkenaan dengan pemanfaatannya bagi diluar dirinya),dan yang ketiga motivasi Ilahiah (hal yang berkenaan dengan pemanfaatannya bagi Kehendak-Nya). Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik itu berada pada lingkar Hablumminannasi sedangkan Motivasi Ilahiah termasuk pada lingkar Hablumminallahi. Dan masing-masing dari itu memiliki tingkat kualitas kebahagiaan yang berbeda.
Secara Ontologis yang berubah hanyalah lingkar Hablumminannasi. Ingat.. keduanya bukanlah bertentangan tapi Pemilahan. Ok?... Misalnya dalam satu aktifitas (bersedekah misalnya), kita langsung melakukan kedua lingkar itu. Sesama manusia karena kita membantu orang-orang yang tidak mampu, kepada Tuhan karena kita tengah melakukan/menjalankan Kehendak-Nya. Tuhan tak pernah berubah, hanya saja manusialah yang seringkali merubah tujuannya (mistaken identity) karena bisa jadi ketidaktahuan atau keegoannya yang membuatnya memilih jalan yang salah. Timbul pertanyaan  mengapa meski ada perubahan?  Apa itu perubahan? Adakah tujuan dari perubahan?[2]
Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, ada kiranya teman-teman meski menjawab pertanyaan saya, yakn apakah kalian ingin bahagia?
Jika kalian ingin bahagia apa yang anda lakukan untuk mencapainya? Jawabannya sangat sederhana, yakni PERUBAHAN. Dengan demikian kita bisa mengetahui apa yang dimaksud dengan perubahan, yakni adanya suatu potensi yang akan teraktualkan. Dan mengapa meski ada perubahan.? Karena kita ingin mencapai kebahagiaan yang ideal.
Saya membagi kebahagiaan menjadi 3 kualitas, bahagia secara Intrinsik adalah capaian-capaian yang membuat diri kita sendiri merasa bahagia. Bahagia secara Ekstrinsik adalah capaian-capaian yang membuat keluarga, suku, bangsa dan kesemestaan merasa bahagia karena perbuatan kita. Bahagia secara ideal adalah Actuspurus tujuan manusia(Ilahi) karena telah mencapai keharmonisan akan rasa Damai dan Berkeadilan. Pemberi itu semua adalah Ilahi, bisa dikatakan bahwa bahagia yang ketiga ini terbentuk dari motivasi Ilahiah. Dengan demikian tujuan dari perubahan itu sendiri adalah bagaimana menyempurnakan ilmu dan iman sehingga terciptanya peradaban tauhid. Dan itulah yang dilakukan oleh Rasulullah. Ia adalah manusia (sempurna) yang berhasil membumikan konsep-konsep tauhid maupun kebahagiaan ideal dalam kehidupan sehari-hari meski masih ada yang Krisis Identitas.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah kita mampu berbuat seperti yang dilakukan Rasulullah? Bagaimana caranya? Saya akan menjawab pertanyaan ini bukan dari pendekatan ilmu-ilmu sosial tapi pada pendekatan motivasi[3]. Saya terkagum dengan kata-kata “Kenalilah Dirimu Maka Engkau Akan Mengenal Tuhanmu”.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut saya ingin bertanya kepada teman-teman. Apakah kalian sudah paham prinsip ini?Lebih Baik Menyalakan Lilin Daripada Mengutuk Kegelapan Dan Lebih Baik Menyalakan Lilin Daripada Menyanjung Terang[4].
Coba teman-teman renungkan bahwa di dalam benak kita terjadi yang namanya pikiran oposisi biner yang tidak bisa kita nafikan. Pikiran kita ada yang mengarah pada: kanan-kiri, depan-belakang, menang-kalah, lawan-kawan, salah-benar dan seterusnya. Kemudian tanyakan pada diri teman-teman, apakah hanya itu pikiran kita? Apakah tidak ada jalan lain? Ketika hal itu teman-teman pertanyakan dan menemukan jawabannya, maka secara tidak langsung teman-teman tengah berusaha untuk berpikir Holistic.
Saya menangkap makna kenalilah dirimu maka engkau mengenal tuhanmu. Ilustrasinya seperti ini. Apakah anda marah kalau saya mencacimaki anda? Jika ya, maka dirimu telah sampai pada lingkar hablumminannasi yang diri. Ok saya lanjutkan apakah anda marah kalau saya memperkosa adik perempuanmu(kalau tidak punya adik perempuan anggap saja ada yaaaa)? Jika ya, maka dirimu telah sampai pada lingkar hablumminannasi yang keluarga. Ok saya lanjutkan lagi, apakah anda marah jika suku/kampung/etnismu diserang oleh suku/kampung/etnis lain (misalnya kalau orang sekampungmu diserang dengan orang lain dengan mengatasnamakan kampung/etnis yang berbeda)? Jika ya, maka dirimu telah sampai pada lingkar hablumminannasi yang suku. Ok lanjut terus saya Tanya nih, apakah anda marah kalau negerimu yang tercinta ini tiba-tiba di serang oleh Negara lain sehingga terjadi peperangan? Jika ya, maka dirimu telah sampai pada lingkar hablumminannasi yang bangsa. Lanjut teruuuuuuus, apakah anda marah jika dunia ini dikuasai/dihancurkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab? Jika ya, maka dirimu telah sampai pada lingkar hablumminannasi yang semesta. Pertanyaan terakhir, apakah anda marah jika agamamu diselewengkan oleh orang-orang yang mengatasnamakan nilai-nilai kebenaran padahal kepentingannya/thoghut? Jika ya, maka dirimu telah sampai pada lingkar hablumminallahi.
Jelas mengenal diri bukan hanya marah tok,, saya hanya memudahkan teman-teman memahami diri yang dimaksud itu apa. Yaaaaa supaya tidak berdebat, masukan ajach pertanyaan-pertanyaan saya dengan kebahagiaan. Apakah anda bahagia jika mendapatkan kekasih yang anda taksir? Bahagiakah anda dengan melihat saudara anda telah menikah? Bahagiakah anda jika bercocok tanam di kampungmu itu berhasil? Bahagiakah anda dengan melihat Indonesia ini makmur? Bahagiakah anda ketika dunia ini damai? Bahagiakah anda jika Tuhan memberimu hidayah?[5]
Tahukah teman-teman jika kita telah sampai/bisa mengendalikan diri yang lebih tinggi, justru membuat kita mempermudah menyelesaikan masalah diri yang lebih rendah? Dan bahkan meniadakan diri yang rendah itu? Ingat… Rasulullah telah sampai pada diri yang tertinggi sehingga ia mampu menyelesaikan masalah ummat. Maka dari itu terkadang kita melihat kehidupan Rasul penuh dengan perjuangan bukan sebagai pengorbanan. Oh iya saya pernah mendengar bahwa perjuangan itu butuh pengorbanan. Apakah itu betul? Ahhhh tidaklahhhhhh. Kita mengatakan  hal demikian karena kita hanya sampai melihat hal yang terluar pada orang tersebut. Padahal dia telah melakukan hal yang memang pencapaian dirinya sampai pada hal yang tertinggi, sehingga diri yang rendah itu tidak lagi menjadi pengorbanan, tapi karena memang hal tersebut telah tiada(anggapan) pada dirinya.
Lantas apa yang dimaksud dengan mistaken identity?
Mistaken identity adalah penyalahgunaan dan kesalahan dalam menentukan suatu keberadaan diri, Menganggap bahwa yang ada hanyalah dirinya. Intinya tahu kelebihan dan tahu kelemahan sehingga, apa yang meski saya lakukan dan apa yang bisa saya berikan? Apakah anda sudah menjadi manusia sempurna seperti nabi Muhammad? Ya atau tidak. Pasti tidak, terus anda ini apa? Jawabannya ada di lingkar hablumminannasi. Sampaikah kesadanku pada diri, keluarga, suku, bangsa dan kesemestaan? Ataukah kesadaranku baru mencapai diri? atau baru mencapai keluarga? atau baru mencapai suku? atau baru mencapai bangsa? atau sudah sampai pada kesemestaan?
Sekali lagi karena saat ini kita tidak seperti kualitas nabi, maka saran saya Lebih Baik Menyalakan Lilin Daripada Mengutuk Kegelapan Dan Lebih Baik Menyalakan Lilin Daripada Menyanjung Terang.
Ok…. Mulai sekarang saya tidak akan membuat jidak teman-teman menjadi berkerut, saya sengaja memaparkan hal diatas karena alasan bahwa teman-teman ini adalah mahasiswa, seyogyanya teman-teman tahu mengenai filsafat, Sebelum lebih jauh melangkah pada wacana lain.
Bagi penulis, teman-teman akan jauh lebih mudah memahami wacana lain jika diawal belajarnya teman-teman adalah wacana filsafat. Seringkali penulis mengatakan pada teman-teman yang lain bahwa saya belajar tentang bagaimana belajar, saya berpikir tentang bagaimana berpikir. Jika tahu dasar maka kamu akan mudah mengetahui yang kompleks.
Sebenarnya apa yang saya paparkan diatas merupakan dasar dari apa yang akan saya bahas nantinya, mungkin teman-teman akan menganggap bahwa yang telah saya jelaskan itu adalah sesuatu yang sulit padahal bagi penulis hal demikian itu adalah dasar-dasar dari apa yang ingin kita capai nantinya[6].
Selamat membaca….
1.      JATI DIRI
Pembahasan tentang jati diri manusia telah lama menjadi wacana pada kita yang bertujuan menyadarkan manusia akan eksistensinya. Banyak perspektif mengenai jati diri manusia yang digunakan oleh pemikir-pemikir untuk mengetahui kedirian manusia itu sendiri, memiliki pendapat dan sudut pandang yang berbeda, ada yang menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki tanggungjawab, makhluk yang memiliki rasa cinta, makhluk yang mengetahui sejarahnya dan banyak hal lagi seputar kemanusiaan. Bagi saya argumentasi-argumentasi yang dibangun itu merupakan satu sisi yang ada pada manusia, sehingga ia dapat dibenarkan dari sisi yang dipandang itu. Jika kita ingin mengetahui manusia yang bisa melingkupi semua anggapan-anggapan yang ada maka seyogyanya kita menjelaskan sebagaimana hakekat kedirian manusia itu sendiri, yakni manusia adalah ia yang senantiasa mengembangkan ilmu dan imannya untuk mewujudkan peradaban yang maju dan mulia. Untuk memudahkan teman-teman memahami apa yang saya paparkan ini, saya akan menggunakan perspektif psikologi suprapersonal dimana ia membahas pada diri manusia, bahwa manusia itu memiliki struktur dalam dirinya yakni mind, spirit dan soul. Akan tetapi saya juga punya pendekatan tersendiri mengenai hal tersebut yakni mind, emosi dan soul.
Mind, emosi dan soul masing-masing memiliki fungsi yang strategis bagi manusia untuk membuat dia melakukan sesuai dengan intruksi ketiganya. Mind (pikiran) merupakan cakrawala yang sering dipakai manusia untuk menyelesaikan masalahnya, tapi itu tidak cukup ketika emosi tidak terbangun, yakni keberanian dan rasa bahagia yang kita dapatkan ketika mengontrolnya, adapun peran dari soul itu sendiri adalah kecendrungan-kecendrungan yang dominan pada diri kita. Biasanya terjadinya mistaken identity pada seseorang karena ia lalai menggunakan ketiganya. Dalam pikiran, emosi maupun soul kita, didesain mencari nikmat mengindari akan kesengsaraan. Dan karena desain ini pula sehingga banyak diantara kita yang salah kaprah mengenai hal tersebut. Kita dapat memilih dan memilah apa yang akan kita lakukan kedepannya merupakan suatu kebaikan ataukah suatu keburukan, itu sangat tergantung pada nilai apa yang menjadi standarisasi kita. Standarisasi dari nilai inilah sehingga kita bisa menilai apa yang terjadi pada diri maupun lingkungan menjadi sesuatu yang baik maupun buruk.
Masalah adalah kata kunci dari semua yang kita alami dan solusinyapun sangat tergantung dari kemampuan kita menjalani hidup. Apakah mengarah pada perbaikan ataukah justru mengarah pada keterpurukan. Dengan demikian dibutuhkan kekonsistenan dari nilai-nilai yang kita anggap sacral. Masalah memiliki komponen yang sangat kompleks untuk dihadapi sehingga apa yang menjadi harapan kita(das-sein) sukar untuk direalisasikan menjadi suatu kenyataan(das-sollen). Dibutuhkan ilmu dan moralitas yang baik dan relevan agar ia bisa menjadi pengubah, pengontrol dari perkembangan suatu bangsa.
Masalah yang kita hadapi bukan saja hanya dari segi eksternal saja, melainkan titik dominan pada internal kita sendiri karena tidak mengetahui jati diri. Saya meminjam istilah senior saya(kanda Muhammad ramli yang disapa ramest) mengistilahkan hal tersebut sebagai krisis identitas. Tepatnya mistaken identity ini adalah hal yang subtantif dan menjadi pekerjaan/tugas kita. Pengaruh eksistensialisme terhadap manusia membuat manusia jauh akan dirinya sendiri, kata yang sering kita dengar adalah kata “YANG PENTING SENANG”.
Jalan hidup yang kita pilih ini sebagai bukti bahwa melemahnya identitas kita sebagai pemuda, pemuda tidak lagi menjadi ikon RAKYAT dari suatu gerakan melainkan sebagai budak BIROKRAT. Perlu ditekankan bersama bahwa mengenal diri adalah bentuk yang paling fundamental dalam suatu kelompok. Jadilah rausyan fikr(dalam istilah ali syari’ati) agar kita mampu menyadarkan masyarakat atas ketidakadilan yang terjadi sehingga kita mampu menciptakan stabilitasi social yang ideal.
Ingat…! orang yang tahu diri adalah ia yang berterimakasih, berterimakasih adalah mensyukuri apa yang diberi dan memberikan apa yang kita mampu. Perbanyaklah memberi dan sasikan apa yang terjadi padamu.
2.      JALAN HIDUP
Jalan hidup merupakan konsekuensi logis dari apa yang kita lakukan sebagai makhluk yang memiliki pilihan. Pilihan-pilihan kitapun sangat terpengaruhi oleh kebijakan yang sempat kita temukan, semakin sedikit kebijakan yang tersedia maka semakin sulit kita dapatkan pilihan yang terbaik, kita hanya akan bisa mendapatkan pilihan dari apa yang tersedia saja. Antara pilihan dan kebijakan tidaklah seperti suatu oposisi binner saja meskipun terkadang diantara kebebasan memilih kita bertentangan dengan kebijakan yang ada. Yang perlu kita pikirkan bersama bahwa kebebasan memilih kita tidaklah bertentangan dengan kebijaksanaan yang ada. Ketidak sepakatan kita bukan pada kebijaksanaan yang ada tapi kebijaksanaan yang tersedia saja dihadapan kita, karena kebebasan memilih merupakan hal yang mutlak maka ia harus tersalurkan dan sesuai dengan kebenaran.
Bisa dikatakan bahwa kebebasan memilih kita adalah apa yang menjadi harapan kita sedangkan kebijaksanaan adalah kenyataan yang terjadi atau hukum yang tersedia. Jika kita mendapatkan ketidak sesuaian yang terjadi dengan apa yang menjadi harapan kita bersama, akan membuat kita melakukan suatu perlawanan, Perlawanan-perlawanan atas nama negara, manusia dan hamba. Maka dari itu yang bisa kita lakukan adalah pengaruh dan mempengaruhi masyarakat agar bersama melawan penindasan. Mengikuti pandangan foucoult, istilah kuasa disini merujuk pada “totalitas struktur tindakan” untuk mengarahkan tindakan dari individu-individu yang merdeka. Kuasa dijalankan terhadap mereka yang berada dalam posisi untuk memilih, dan ditujukan untuk memengaruhi pilihan mereka. Maka, kuasa melibatkan “permainan-permainan strategis diantara pihak-pihak yang memiliki kebebasan memilih”[7]. Hanya saja kita tidak bisa memungkiri bahwa tujuan, kemampuan, maupun misi seseorang sangat berbeda dan karena perbedaan inilah dibutuhkan suatu cara agar kita bisa menyatukan persepsi kita terhadap apa yang terjadi agar lebih baik.
Dengan demikian tak ada jalan lain yang terlepas dari hegemoni, Yakni adanya pengaruh dari luar agar kita memilih yang terbaik. Dari itu untuk mengontrol ataupun mengendalikan suatu pengaruh sangat ditentukan oleh identitas kita. Jika kita salah dalam menentukan identitas(krisis identitas) maka konsekuensinya dipengaruhi sedang jika identitas kita kuat maka memungkitnkan untuk mempengaruhi.
Sebagai pemuda sangat dibutuhkan identitas yang matang, identitas yang matang identik dengan intelektualitas dan spritualitas karena dengan itu kita bisa membangun peradaban yang maju dan mulia. Mau atau tidak kitalah yang akan melanjutkan estafet peradaban, maka dari itu membentuk identitas yang tercerahkan(rausyan fikr dalam istilah ali syari’ati) akan membuat kita siap dengan warisan tersebut.
Moralitaslah sebagai hukum sosial yang menentukan apakah pemuda-pemuda memiliki identitas yang benar atau salah, jika ia mudah dipengaruhi oleh tantangan zaman maka jelas ia akan menjadi korban zaman dan salah menentukan identitasnya, akan tetapi jika ia bisa mengendalikannya maka ialah pemuda sejati, pemuda yang memberikan arti pada kehidupan, pemuda yang bisa memberikan inspirasi bagi sesamanya dan berguna bagi nusa dan bangsa. Sebagai pemuda, jalan yang terbaik untuk menempuh kebahagiaan adalah dengan menyadarkan masyarakat, memberikan masyarakat akan hak-haknya, memperlihatkan contoh yang baik kepada masyarakat dan yang terpenting adalah perjuangan pada arah yang lurus.
Ingat...! Mendahulukan pemikiran itu penting asalkan kita mampu bijak dengan pemikiran orang lain, pemikiran orang lain itu memudahkan kita menemukan kebijaksanaan yang susah payah didapatkan orang tersebut.

3.      TANTANGAN ZAMAN
Perkembangan zaman di satu sisi membawa pengaruh positif bagi pemuda, namun di sisi lain juga berdampak negatif. Seperti sudah di bahas sebelumnya, bahwa perkembangan zaman dapat membawa pemuda terbawa arus perubahan zaman. Dakwah islam saat ini menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Menyebarnya ajaran-ajaran barat yang kemudian mencemari jiwa keislaman membuat pemahaman umat islam terhadap islam berada pada titik yang terlemah. Realitas yang ada masa kini adalah munculnya berbagai macam ideologi di dunia yang bertolak dengan ajaran islam. Secara tidak kita sadari paham-paham tersebut menyebabkan kaum muslim menjadi berkelompok-kelompok.
Permasalahan utama yang harus dihadapi oleh kaum muslimin sesungguh nya adalah bagaimana menegakan kembali hukum yang diturunkan Allah. Dari permasalahan tersebut maka kita dapat melihat banyaknya tantangan yang harus dihadapi pemuda muslim, diantaranya.
1. Masalah Ideologi
Saat ini banyak ideologi yang menyebar dan sesungguhnya bersumber dari kekufurun manusia terhadap Allah SWT karena paham-paham tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam. Seperti paham kapitalisme yang memisahkan urusan agama dengan Negara. Sehingga peraturan-peraturan yang terdapat di Negara yang menetapkannya sepenuhnya berasal dari manusia. Selain itu juga terdapat faham kapitalisme yang tujuan utama dari paham ini adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menekan biaya yang harus dikeluarkan. Sangat jelas merebaknya kapitalisme menyebabkan Negara-negara berkembang menjadi semakin dirugikan, sebalik nya dengan Negara maju yang mendapat banyak keuntungan. Hal ini dapat menyebabkan pemuda-pemuda muslim menjadi kritis identitas dengan identitasnya sebagai seorang muslim sehingga mudah terbawa arus. Selain itu juga akan menimbulkan sikap hedonisme dan pragmatisme, yaitu terlalu mementingkan urusan duniawi serta mengenyampingkan urusan agama dan semua aturan hidup nya berdasarkan peraturan yang dibuat oleh manusia.
2. Masalah Sosial-Budaya
Lahirnya faham liberalisme yang merupakan paham kebebasan yang menghendaki adanya kebebasan individu dalam berinteraksi menimbulkan sikap bahwa setiap individu memiliki hak dan privasi yang harus dihormati. Sikap ini kadang terlalu membebaskan seseorang sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak seiring dengan agama. Disamping itu Westernisasi yang identik dengan budaya popularitas dan hedonisme juga merebak di kalangan pemuda, dampaknya akan berakibat ajaran islam menjadi ajaran yang dianggap asing bagi mereka karena ajarannya dianggap terlalu kuno dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
3. Masalah Ekonomi
Sebagian besar Negara dengan mayoritas penduduknya islam adalah Negara berkembang. Sehingga kemiskinan adalah permasalahan yang harus dihadapi umat muslim. hal ini disebabkan oleh lemahnya semangat juang dan lemahnya semangat saling berbagi. Selain itu system perekonomian masih didominasi oleh system kapitalisme sehingga sistem ekonomi  yang sesuai dengan syariah islam masih jauh dari impian. Inilah yang menjadi tantangan bagi pemuda untuk mengobarkan semangat  perjuangannya agar dapat berjuang memajukan bangsa serta umat islam.
4. Masalah Politik
Berkembangnya sistem demokrasi menyebabnya banyak terbentuknya partai-partai islam, sehingga umat islam terpecah-pecah menjadi beberapa golongan. Selain itu umat islam cenderung menjadi objek politik bukan menjadi subjek sehingga cenderung menjadi target politik.
Permasalahan-permasalahan tersebut menjadi tantangan bagi pemuda untuk dapat menghadapinya. Hal yang dapat dilakukan oleh generasi muda adalah dengan berpegang teguh pada ideologi islam dalam menghadapi tantangan zaman karena ketika kita telah berpegang pada ideologi islam sesungguhnya kita telah menggunakan aqidah dan syariah islam tanpa menguranginya sedikitpun, sehingga hukum yang berlaku pun datangnya dari Allah bukan buatan manusia. Maka ketika ada suatu permasalahan kita dapat mengkajinya terlebih dahulu kemudian mencari pemecahannya dengan menggunakan syariah islam. Jika kita dengan menjalankan syariah islam dengan sebenar-benarnya maka niscaya permasalahan dunia dapat kita hadapi.

4.      PRINSIP PEMUDA
Peristiwa masa lalu adalah cerita yang tersimpan dalam memori kita, kemudian menjadi kenangan  masa depan yang masih suci. Merefleksikan kembali sumpah pemuda yang terjadi 83 tahun yang lalu adalah bagian untuk menata masa depan(revitalisasi), semangat kesatuan, senasip dan sepenanggungan dan rasa memiliki tanah air menjadi alas an tercetusnya hari sumpah pemuda. Kemudian nasionalisme adalah bekal dari golongan pemuda untuk bersatu dalam peristiwa 28 oktober 1928. Adalah Sugondo Cahyo Puspito dan A.G. Pringgodigdo sebagai bagian dari generasi muda kala itu. Mereka merupakan pencetus terjadinya peristiwa bersejarah bagi kaum muda Indonesia dan terkenang hingga hari ini. Ikrar sumpah pemuda yang kini menjadi diktum gerakan pemuda adalah sebuah komitmen perjuangan bersama untuk mencapai kemerdekaan bangsa.
Dampaknya luar biasa, gerakan golongan muda tersebut menjadi tonggak balik langkah perjuangan kemerdekaan pada masa itu. Di mana, sebelumnya, perjuangan hanya dilakukan oleh beberapa golongan. Pasca itu, arah perjuangan semakin terlihat dilakukan secara kolektif kolegial.
Wajar mengapa golongan muda selalu dielu-elukan sebagai ahli waris estafet perjalanan bangsa di masa yang akan datang. Sebab, generasi muda adalah yang mampu berdiri atas idealismenya dan berjuang menurut sisi-sisi keidealan. Oleh sebab itu, generasi muda disebut juga sebagai kaum intelektual dalam bahasa Ali Syari’ati adalah rausyanfikr ( kaum tercerahkan).
Tak berhenti sampai di situ. Menyambut abad milenium sekali lagi golongan muda membuktikan konsistensinya menjadi agen perubahan bangsa. Dengan meruntuhkan rezim otoritarian Soeharto turun dari tampuk kepemimpinan. Tentu ini prestasi besar bagi bangsa Indonesia, menumbangkan rezim yang lebih dari 30 tahun bercokol menguasai kekayaan rakyat Indonesia. Asa besar rakyat Indonesia tersemat di pundak pemuda yang meneriakkan reformasi. Bergandengan tangan, menyinergikan semua kekuatan seperti halnya apa yang ditunjukkan pada peristiwa sumpah pemuda. Fenomena membahagiakan, di mana negeri yang terhimpun dari berbagai suku, etnis, dan ras mampu tegak berdiri.
Namun pascareformasi, gelombang pergerakan generasi muda seperti disorientasi perjuangan. Proses perubahan ini didasari oleh adanya perkembangan teknologi dan informasi yang terinfiltrasi ke dalam ruang hidup masyarakat termasuk di dalamnya generasi muda. Budaya dari berbagai peradaban pun bercampur aduk dalam satu nuansa atau dalam bahasa Samuel P. Huntington disebut sebagai universalisme budaya dalam bahasa lain dinamakan globalisasi. Universalisme budaya ini mencirikan pemikiran yang didominasi oleh rasio, budaya fashion, ekonomi kapitalis, free sex, gerakan feminisme ekstrem, dan terkuburnya spritualitas.
Era globalisasi ini diasosiasikan oleh masyarakat dengan munculnya internet pada 1990-an kemudian disebut era modernisasi. Periode ini juga ditandai adanya kekacauan di belahan dunia lain (Francis Fukuyama:2000).  Kejahatan dan kekacauan sosial meningkat, di Indonesia sendiri kekacauan sosial atau konflik justru didominasi oleh golongan muda, dengan klasifikasi umur antara 15-25 tahun. Ivan Illich (Menggugat Kaum Kapitalis: 1978), mengatakan bahwa modernisme mengharuskan manusia untuk berperilaku kompetitif. Relevansi ini kemudian memunculkan sebuah reaksi, salah satunya adalah pergeseran nilai budaya dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sementara proses asimilasi kebudayaan barat (tempat asalnya modernisme) ke dalam budaya Indonesia lebih banyak diprakarsai oleh generasi muda. Hal ini sangat disayangkan karena komponen masyarakat yang paling vital adalah generasi muda tersebut.
Disparitas kondisi yang dialami masa kini adalah akumulasi dari peristiwa-peristiwa masa lalu, dan adanya faktor eksternal yang berkontribusi besar terhadap bergesernya nilai-nilai kehidupan di Indonesia. Pada akhirnya generasi muda Indonesia seperti kehilangan identitas kebudayaan. Individu yang tak berkebudayaan seperti itu akan gampang menerima nilai dan dimensi, sehingga ciri-ciri bawaan etnisnya akan hilang (Ali Syari’ati).
Generasi muda kini adalah generasi yang dibesarkan di atas komponen-komponen kebudayaan barat. Maka tingkah laku dan pola berpikir terkontaminasi oleh paradigma barat yang serba instan dan bersifat matrialistik. Di sisi lain penguatan identitas bangsa dalam hal ini adalah ideologi bangsa Indonesia (Pancasila) tak kunjung selesai bahkan hanya menjadi retorika politik dan jargon-jargon perdamaian yang senyatanya hanya alat untuk kepentingan-kepentingan elit politik, tanpa didasari oleh semangat nasionalisme. Semangat kebersatuan golongan muda pun semakin hari kian luntur, ditandai dengan maraknya konflik antar suku, golongan,  dan ideologi agama layaknya barbarianisme. Fenomena ini telah disampaikan oleh Ivan Illich sebagai dampak modernisasi sehingga hubungan kultural dan historis berubah menjadi individualitas.
Reformasi dan kepemimpinan SBY dianggap gagal, karena tidak mampu memenuhi segala kebutuhan dan harapan masyarakat Indonesia. Pengkhianatan terhadap tujuan negara yang termaktub dalam UUD 1945 dianggap sebagai dosa besar pemerintahan SBY saat ini. Sudah seharusnya pemuda muncul sebagai problem solver. Bagaimanapun pemuda memiliki tanggung jawab sejarah, komitmen terhadap perjuangan, dan bertanggung jawab ke apa yang telah diperbuat. Apalagi, pemuda memiliki ikatan sejarah dalam regulasi perjalanannya.
Demikian pula sesuai dengan khitahnya, bahwa pemuda sebagai generasi pioner dalam setiap perubahan zaman. Haruslah dibuktikan dalam dimensi yang konkret dan nyata. Namun, kondisi hari ini menyeret masyarakat untuk berperang di medan peradaban dan kebudayaan yang bersifat maya atau tidak nyata, namun dampaknya sangat bisa kita rasakan dan sistemik. Untuk itu, pemuda wajib mempelajari kembali kebudayaan di mana tempat dia berada (cultural studies). Menurut Henry Giroux bahwa cultural studies, sebagai bentuk perlawanan terhadap kondisi yang berasal dari kebudayaan yang dianggap tidak relevan dan cenderung bersifat negatif. Cultural Studies pun mengajak masyarakat meneropong masa lalu untuk menjadi kajian masa kini dan kemudian memberikan solusi terhadap masa depan.
Tidak berlebihan jika Ali Syari’ati mengatakan bahwa masyarakat muda adalah kaum tercerahkan (Rausyanfikr). Generasi yang dianggap mampu memberikan solusi dan langsung menjadi aktor langsung dalam praktik teorinya. Maka dengan segala kemampuan intelektual yang ada, generasi muda Indonesia haruslah menata kembali kebudayaan asli Indonesia. Menyerap kebudayaan asing adalah hal yang diperbolehkan, harus pula diletakkan pada posisi yang tepat, agar tepat guna. Sebab, kebudayaan adalah perwujudan mayoritas karya suatu ras atau bangsa yang bersifat nasional. Tidaklah tepat dalam hal ini menggantikan budaya Indonesia sebagai hasil karya rakyat Indonesia dengan budaya barat atau dalam bahasa lain  ’’meng-Indonesia-kan budaya barat’’.
Untuk melawan kebudayaan luar yang merusak tatanan kehidupan masyarakat, haruslah menggunakan ideologi bangsa yang disepakati bersama oleh masyarakat. Karena kata ideologi biasa diasosiasikan dengan kaum intelektual, dan pemuda adalah bagian dari kaum intelektual yang tercerahkan ’’kaum tercerahkan’’. Ideologi mampu membimbing manusia untuk berjalan sesuai dengan tujuan ideal yang diinginkan untuk merubah sebuah tatanan sosial masyarakat lebih baik. Dan ideologi dianggap mengandung keyakinan dan gagasan yang ditaati oleh suatu masyarakat, ras kelompok ataupun bangsa. Oleh sebab itu ideologi menuntut generasi muda untuk setia (committed) terhadap ideologi bangsanya.
Sejarah sudah menggoreskan tinta emas terhadap apa yang pernah dilakukan dan dikorbankan oleh pemuda Indonesia dalam setiap perjalanan bangsa. Sumpah pemuda adalah warisan yang sampai saat ini masih tetap hidup sebagai romantisme masa lalu, untuk itulah setiap tanggal 28 Oktober kita peringati sebagai hari sumpah pemuda.
Kondisi rakyat hari ini betul-betul sangat menyedihkan saat kemiskinan semakin menghantui kehidupan masyarakat, tayangan televisi justru menawarkan kehidupan yang mewah. Pemerintah pun seakan membiarkan rakyatnya menyelesaikan masalahnya sendiri. Dalam situasi inilah semangat pemuda dibutuhkan untuk merubah kondisi bangsa dan menjawab segala keinginan dan harapan masyarakat Indonesia yang juga memiliki kekayaan negari ini.
Sebagai generasi intelektual yang tercerahkan, sudah sepatutnya pemuda mengetahui masyarakatnya, sadar akan masalahnya, dapat menentukan nasibnya, banyak mengetahui masa lampaunya, dan mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Peristiwa heroik sumpah pemuda sudah lama berlalu, namun manifesto pemuda atas rasa memiliki bangsa dan tanah air semestinya menjadi diktum yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Meski kondisi zaman hari ini membayang-bayangi setiap langkah pemuda layaknya bom waktu yang setiap saat dapat memberangus eksistensi pemuda, komitmen perjuangan haruslah terus dikumandangkan. Masa lalu biarkan menjadi cerita yang dapat kita ambil hikmahnya untuk menata masa depan yang lebih baik.
Ingat...! Menjadi yang teraik dari yang terbaik tidak hanya dilihat dari sejauh mana prestasi yang diraih, tapi lebih jauh dilihat dari sejauh mana kemanfaatan yang kita lakukan, bahwa apa yang kita lakukan bermanfaat untuk diri kita, orang lain dan diridhoi tuhan.
5.      PEMUDA dan PERUBAHAN SOSIAL
Peran pemuda dalam perubahan sosial di indonesia sangatlah penting, mulai dari prakemerdekaan sampai pada reformasi, meskipun pada saat ini peran pemuda belum nampak dipermukaan. Maka dari itu untuk menampakkan peran kita diperlukan suatu gerakan yang visioner, disamping gerakan reaksioner tak bisa kita elakan karena tantangan dalam gerakan tetap ada. Dalam suatu gerakan dibutuhkan suatu gerakan yang visioner karena jika tidak maka gerakan yang kita bentuk tak akan bertahan lama. Ciri-ciri dari gerakan yang visioner adalah memiliki idealitas, jangka panjang, bernilai dan profesional. Timbul anggapan bahwa, apakah kita tidak membutuhkan suatu gerakan yang bersifat reksioner..? tentu jawaban yang sederhananya diperlukan sebagai penopang gerakan yang kita idam-idamkan. Dari kedua gerakan tersebut memiliki prioritas yang berbeda, disisi lain ada yang jangka pendek yang identik pada masa kini dan kemaanfaatan pribadi atau kelompok dan ada pula yang jangka panjang yang identik pada masa yang akan datang dan kebersamaan.
Sebelum lebih jauh masuk pada gerakan yang kita bentuk ini perlu kiranya kita mengetahui mengapa kita membutuhkan suatu perubahan sosial, berangkat dari pemikiran Jacques Derrida tentang dekonstruksinya. DEKONSTRUKSI adalah sebuah metode pembacaan teks. dekonstruksi menunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.
Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai Logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks. Dekonstruksi merupakan teori baru dan cara pandang baru untuk mencapai pengetahuan, yang diperkenalkan oleh derrida. Dekonstruksi, merupakan teori kritik yang mengkonstruk ulang pengetahuan yang dianggap baku. Dekonstruksi berpandangan bahwa kita tidak bisa menetapkan sesuatu yang dianggap terkonstruk dengan baik itu adalah sesuatu yang benar. Karena manusia memiliki kemampuan tersendiri dalam memahami realitas ini. Pemikiran manusia yang dinamis dan kontekstual ini, merupakan konsekuensi logis dari cepatnya perubahan yang terjadi di masyarakat. Misalnya saja ketika struktuktur menentukan bahwa tolak ukur senior di dalam kampus adalah orang-orang yang angkatannya lebih tinggi, sedang angkatan yang lebih rendah dianggap sebagai junior dalam kampus. Dengan demikian status quo adalah bentuk ketidakrelevanan suatu kondisi, dan dengan sendirinya sebagai pemuda yang akan merubah itu.
Dari itu perlu diketahui bersama bahwa terjadinya perubahan sosial dikarenakan faktor orang besar dan ideas. Orang besar inilah yang akan membentuk dan merubah pandangan masyarakat tentang apa yang terjadi, yakni suatu bentuk penyimpangan-penyimpangan seperti pemiskinan dan pembodohan. Pada dasarnya perubahan-perubahan yang kita usung merupakan perubahan dari sisi struktural dan kultural. Dan jika satu sisi saja yang ingin kita goalkan maka berakibat fatal bagi kita sendiri.
Bagaimana seorang individu membentuk suatu masyarakat..? sesuai dengan defenisi masing-masing bahwa individu merupakan hal yang tidak terpisahkan(person) dan masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang memiliki tujuan yang sama dan ideal. Individu membentuk suatu masyarakat berawal dari 1. Individu+individu menjadi keluarga, 2. Keluarga+keluarga menjadi suku, 3.suku+suku menjadi bangsa, dan 4. bangsa+bangsa menjadi kesemestaan. Dengan demikian awal dari pembentukan ini adalah orang besar dan ideas agar membentuk peradaban. Sebagai pemuda kita diharuskan mendapatkan jati diri kita, dimana ia identik dengan peran dan tanggung jawab. Sadar akan peran dan tanggung jawab kita sebagai diri sendiri, keluarga, suku, bangsa dan kesemestaan.
Dalam hubungan individu dan masyarakat perlu pula kita melihat sisi lain dari itu yakni kemanfaatan dan keutamaannya. Dalam hal ini penulis membagi tiga motivasi kita dalam melakukan sesuatu, yakni motivasi intrinsik, motivasi ekstrinsik dan motivasi ilahiah. Motivasi intrinsik adalah apa yang menjadi keutamaan dan kemanfaatan bagi diri kita, sedang motivasi ekstrinsik adalah apa yang menjadi keutamaan dan kemanfaatan bagi orang banyak dan yang terakhir adalah motivasi ilahiah yakni keutamaan dan kemanfaatan penyadaran kita bahwa manusia adalah hamba dari sang Khalik. Jika diantara ketiganya ada yang bertentangan maka memungkinkan gerakan kita tak akan bertahan lama. Motivasi inilah sebagai alasan mengapa kita melakukan suatu perubahan, dan jika hal ini terganggu maka terjadilah perlawanan. Lawan kita bukanlah kultur maupun struktur yang ada(kebijakan yang tersedia), melainkan karena terjaadi pembodohan dan pemiskinan.
Ingat..! kejayaan bukanlah dilihat karena terbukti kita tidak pernah jatuh dari perjuangan kita, melainkan kejayaan sejati terletak dari kesadaran kita bahwa kejatuhan yang kita alami ini dirubah.
Akhir kata penulis sampaikan kepada teman-teman “lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan dan lebih baik menyalakan lilin daripada menyanjung terang”.
Terima kasih...!


[1] Maaf jika kata yang penulis pilih masih membuat jidak teman-teman berkerut. Pada tulisan ini saya tetap mempertahankan kata-kata yang ada dalam filsafat. Tapi bagi teman-teman yang belum menyentuh wacana tersebut, tidak usah khawatir. Kalian juga punya giliran kok.. saran saya teruskan saja bacanya, kalian akan menemukan penjelasan yang terkait dengan itu secara sederhana. Ok..? semangat indonesia bro….!
[2] Saya tidak akan membahas filsafat perennial disini karena tulisan ini sengaja saya hadiahkan kepada teman-teman mahasiswa baru. Bukan berarti saya menyepelehkan mereka karena ketidaktahuan pada filsafat perennial, hanya saja kita harus bijak menilai bahwa kesenjangan antara dunia sekolah dan kampus itu sangat jauh. Tapi bagi teman-teman yang sudah terlanjur menjadi senior dikalangan mahasiswa, kalau mau baca silahkan. Ketika tulisan ini sudah sampai di tangan kalian saya tidak punya hak lagi atas itu. Sengaja mempertanyakan hal tersebut karena penulis melihat banyaknya teori-teori social yang tak filosofis memandang suatu perubahan.
[3] Saran saya kalau mau membumikan konsep hablumminannasi dan hablumminallahi, dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial, teman-teman silahkan baca bukunya Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat yang berjudul Rekayasa Sosial.
[4] Sejarah prinsip ini saya finalkan, ketika saya mengikuti Intermediate HMI Cab. Pangkep. Waktu itu saya mengikuti materi idiopolitorstratak, dan pembicaranya menyebut kata lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan, serentak saya terpukau dengan kata tersebut karena saya menangkap hikmah/makna dari kata-kata itu. Awalnya saya hanya berprinsip seperti itu karena saya selalu pesimis akan nasib HMI Komisariat Ushuluddin jika senior kami sudah tidak ada di kampus. Sehingga saya sering menggembar-gemborkan prinsip ini kepada teman-teman yang lain, yang tentunya pesimis akan nasib kita. Karena saya sering mengatakan hal itu pada orang-orang yang pesimis, senior (ka’ ramest) saya menegur saya. Saya ingat betul waktu itu saya terkesan sebagai orang yang terlalu arogan dengan pemikiran saya sendiri(sok pintar), hingga dia mengeluarkan kata-kata de’ bahkan saya jauh lebih sepakat dengan kata lebih baik menyalakan lilin daripada menyanjung terang. Ia jelaskan bahwa seringnya terjadi perselisihan karena kedua belah pihak sama-sama merasa berada dijalan yang benar. Sejak saat itu saya selalu merenungkan apa yang selama ini saya lakukan ternyata adalah kekonyolan-kekonyolan diri. Sehingga pada akhirnya saya mendapatkan jawabannya yakni kedua kata itulah prinsip hidupku. Jujur… tulisan ini adalah hasil dari pengalaman saya pribadi yang berusaha saya sistematiskan untuk dipelajari bagi mahasiswa baru. Misi saya di kampus adalah ingin agar budaya diskusi di kampus kembali sehingga ini tidaklah sebagai wacana Revitalisasi.
[5] Kalau mau tau masalah ini secara filosofis teman-teman silahkan baca buku manusia dan alam semesta karya murtadha muthahari.
[6] Heeeeeeee…. Dasar aja sulit bagaimana yang kompleksnya yaaaaa? Oh iya teman-teman tidak usah khawatir karena teman-teman menganggap itu sulit dikarenakan masih jarangnya mendengarkan atau membahas kata perkata atau argument-argumen yang saya jelaskan.
[7] Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Mizan, Bandung, Cet. Pertama, 2005, Hal. 38

2 komentar:

  1. Belajar menjadi Pemuda baik di Tantangan Zaman jaman Now..
    Coach Jonathan Leman juga tentunya masih belajar dan berbagi untuk generasi yang lebih baik

    BalasHapus