Senin, 25 Juni 2012

pengantar filsafat

BAB. I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah
Filsafat Islam muncul pada awalnya adalah diorong oleh sebuah cita-cita terciptanya keterpaduan antara akal dan wahyu, rasio dan hati, agama dan logika. Geliat pemikiran yang semacam ini muncul tatkala Islam mulai bersentuhan dengan tradisi filsafat Yunani klasik yang berkembang di abad pertengahan.Tokoh filsof Islam pertama kali yang berusaha untuk menyelaraskan atau mempertemukan antara akal dan wahyu adalah Al-Kindi (801-873). Di adalah tokoh yang pertama kali merumuskan secara sistematis apa itu filsafat Islam. Meskipun, pemikiran Al-Kindi sendiri sebenarnya masih berbaur secara lekat dengan debu teologi.
Memang, meskipun dalam ajaran Islam, akal mendapatkan porsi yang cukup besar, namun dalam praktiknya umat Islam justru banyak yang meninggalkan akal. Kehendak umat Islam untuk jauh dari tradisi rasionalitas itu justru dengan alasan untuk praktik keberagamaan itu sendiri. Secara umum umat Islam mempunyai asumsi kuat bahwa Islam adalah wahyu yang keberadaannya harus diterima secara taken for granted, sebuah produk yang sudah sempurna sehingga pengimplementasiannya ke dalam ranah empirik tidak memerlukan sentuhan rasionalitas lagi. Menggunakan akal atau rasionalitas dalam praktik keberagamaan ini justru akan berpotensi mendistorsi ajaran-ajaran suci Islam itu sendiri. Pola keberagamaan semacam ini akhirnya menimbulkan sebuah persepsi yang timpang. Agama akhirnya diposisikan sebagai antitesis akal atau sebaliknya akal diposisikan sebagai lawan dari agama.
Hal semacam itu, tentu merupakan sebuah ironi. Kenapa? Karena agama jusru bisa hidup kalau didukung oleh akal. Agama tidak akan pernah bisa hidup dan bicara kepada masyarakat kalau aktualisasi nilainya tidak dibingkai oleh kerja akal. Sebab, agama adalah sebuah ajaran yang univerkksal dan abstrak, ia merupakan suara langit yang berusaha untuk menyentuh realitas. Ajaran semacam ini tidak akan mampu turun ke bumi kalau tanpa diperantarai oleh akal dan rasionlaitas. Bahasa agama selamanya akan terus melangit, tidak akan mampu dipahami oleh manusia di bumi kalau peran akal untuk mensosialisasikan bahasa tersebut dinisbikan. Akal adalah perangkat (tool) utama untuk mengkomunikasikan bahasa langit itu kepada penduduk bumi dan inilah yang terjadi di Islam.
Oleh karena itu, tokoh-tokoh filsof muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Shina, Ibnu Rushd, Ibnu ‘Araby, Mulla Shadra dan sederet filsof muslim lainnya mempunyai ghirrah untuk menerapkan filsafat sebagai logika forma dalam memahami agama. Dan terbukti, setelah agama bisa didekaklan dengan filsafat Islam mengalami kejayaan dalam ilmu pengetahuan.
Namun meskipun demikian, tidak berarti filsof yang menyeret filsafat ke dalam ranah teologi atau wahyu tersebut berada dalam maenstream pemikiran. Seperti yang ada di wilayah teologi, di dalam dunia filsafat Islam juga terdapat beragam genre dan kredo filsafat yang beraneka ragam. Kalau di ranah teologi dikenal ada kredo teologis seperti Ahlussunnah, mu’tazilah, jabariyah, qodariyah dan syi’ah dan sebagainya, maka dalam filsafat Islam juga dikenal ada paripatetisme, emanasi, Isyraqiyyah (illuminisme), madzhab Isfahan, wujudiah (al-Hikmatul Muta’aliyyah) dan sebagainya. Namun dalam tulisan ini hanya berusaha menampilkan dua aliran saja yakni aliran masya’ iyyah, Isyroqiyyah dan wujudiayah. Untuk mengkaji beragam aliran filsafat Islam yang jumlahnya banyak itu tentu dibutuhkan tenaga ekstra. Karena adanya berbagai keterbatasan, di sini hanya bisa mengulas secara singkat dari dua aliran filsafat tersebut.
Banyak yang mengatakan bahwa islam hanya berpikir seperti orang yang latah yang bisa memperkenalkan pemikiran mereka ketika ia (islam) di kejutkan dengan pemikiran-pemikiran yang muncul. Misalnya isu demokrasi, pluralisme dan sebagainya. Filsafat pun demikian, islam hanya bisa memperkenalkan tentang islam ketika filsafat menjadi populer di eropa.
Islam mengklaim jauh sebelum eropa memperkenalkan tentang filsafat, islam telah berpikir tentang komponen filsafat itu sendiri –ontologi, epistemologi dan aksiologi. Akan tetapi kebanyakan dari jawaban-jawaban yang dilontarkan kaum muslimin adalah pemisahan sejarah filsafat itu sendiri.
Islam sebagai agama moderat senantiasa menganjurkan jalan pertengahan (tawasuth). Karenanya, dapat diketahui bahwa semangat pemaduan dan pertengahan merupakan salah satu corak pemikiran kaum Muslimin dalam berbagai lapangan kehidupan. Setiap kali ada aliran-aliran yang berlawanan, tentu akan timbul penengahnya, seperti ditunjukkan dalam sejarah aliran dan pemikiran dalam Islam.
Terlepas dari itu semua bahwasanya islam memiliki corak filsafat tersendiri, meskipun kesimpulan-kesimpulan tentang komponen filsafat sangat berbeda dengan corak pemikiran filsafat yang lain.Kita ketahui bersama bahwa filsafat merupakan hasil dari pemikiran manusia yang notabenenya menggunakan akal murni dan ini bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh islam yang berorientasi pada ruhaniah/hati. Dengan demikian muncullah dalam benak kita yakni “adakah hubungan antara keduanya?” dikarenakan keduanya memiliki back ground masimg-masing?
B.     Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas, penulis dapat menatarik suatu permasalahan, diantaranya:
1.      Defenisi pemikiran filsafat islam
2.      Apa yang dimaksud dengan corak pemikiran filsafat islam?
3.      Adakah Hubungan antara akal dan hati?
4.      Adakah pengaruh filsafat terhadap perkembangan pemikiran filsafat islam?
5.      Adakah kategori-kategori bentuk pemikiran filsafat islam?
BAB. II
PEMBAHASAN
1.      Defenisi Pemikiran Filsafat Islam
Sebelum sampai kepada definisi Filsafat Islam, terlebih dahulu kami akan memberikan makna filsafat yang berkembang di kalangan cendikiawan muslim.
Menurut Mustofa Abdur Razik pemakaian kata filsafat di kalangan umat Islam adalah kata hikmah. Sehingga kata hakim ditempatkan pada kata failusuf atau hukum Al-Islam (hakim-hakim Islam) sama dengan falasifatul Islam (failasuf-failasuf Islam). Hal ini dikuatkan oleh Dr. Faud Al-Ahwani, bahwa kebanyakan pengaran-pengarang Arab menempatkan kalimat hikmah di tempat kalimat filsafat, dan menempatkan kalimat hakim di tempat kalimat failusuf atau sebaliknya. Namun demikian, mereka mengatakan bahwa sebenarnya kata hikmah itu berada di atas kata filsafat.
Al-Farabi berkata: Filusuf adalah orang yang menjadikan seluruh kesungguhan dari kehidupannya dan seluruh maksud dari umurnya mencari hikmah yaitu mema'rifati Allah yang mengandung pengertian mema'rifati kebaikan.
Ibnu Sina mengatakan, hikmah adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan dapat menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktik menurut kadar kemampuan manusia.
Kemudian Ahli tafsir Muhammad Abduh mengatakan bahwa hikmah adalah ilmu yang berhubungan dengan rahasia-rahasia, yang kokoh/rapi, dan bermanfaat dalam menggerakkan amal perbuatan. Sementara itu ada yang berpendapat bahwa asal makna hikmah adalah tali kendali untuk kuda dalam mengekang kenakalannya. Dari sini makna diambillah kata hikmah dalam arti pengetahuan atau kebijaksanaan karena hikmah ini menghalang-halangi dari orang yang mempunyai perbuatan rendah. Kemudian hikmah diartikan perkara yang tinggi yang dapat dicapai oleh manusia dengan melalui alat-alatnya yang tertentu yaitu akal dan metode-metode berpikirnya.
Apabila melihat ayat-ayat Al-Qur’an, maka ada beberapa arti yang dikandung dalam kata hikmah itu, antara lain adalah:
Untuk memperhatikan keadaan dengan seksama untuk memahami rahasia syariat dan maksud-maksudnya.
Dengan demikian hikmah yang diidentikan dengan filsafat adalah ilmu yang membahas tentang hakikat sesuatu, baik yang berfilsafat teoritis (etika, estetika maupun metafisika) atau yang bersifat praktis yakni pengetahuan yang harus di wujudkan dengan amal yang baik.
Sampailah kita pada pengertian Filsafat Islam yang merupakan gabungan dari filsafat dan Islam. Menurut Mustofa Abdur Razik, Filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di bawah naungan negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya. Pengertian ini diperkuat oleh Prof. Tara Chand, bahwa orang-orang Nasrani dan Yahudi yang telah menulis kitab-kitab filsafat yang bersifat kritis atau terpengaruh oleh Islam sebaiknya dimasukkan ke dalam Filsafat Islam.
Dr. Ibrahim Madzkur mengatakan: Filsafat Arab bukanlah berarti bahwa ia adalah produk suatu ras atau umat. Meskipun demikian saya mengutamakan menamakannya filsafat Islam, karena Islam bukan akidah saja, tetapi juga sebagai peradaban. Setiap peradaban mempunyai kehidupannya sendiri dalam aspek moral, material, intelektual dan emosional. Dengan demikian, Filsafat Islam mencakup seluruh studi filosofis yang ditulis di bumi Islam, apakah ia hasil karya orang-orang Islam atau orang-orang Nasrani ataupun orang-orang Yahudi.
Drs. Sidi Gazalba memberikan gambaran sebagai berikut: Bahwa Tuhan memberikan akal kepada manusia itu menurunkan nakal (wahyu/sunnah) untuk dia. Dengan akal itu ia membentuk pengetahuan. Apabila pengetahuan manusia itu digerakkan oleh nakal, menjadilah ia filsafat Islam. Wahyu dan Sunnah (terutama mengenai yang ghaib) yang tidak mungkin dibuktikan kebenarannya dengan riset, filsafat Islamlah yang memberikan keterangan, ulasan dan tafsiran sehingga kebenarannya terbuktikan dengan pemikiran budi yang bersistem, radikal dan umum.
Dengan uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah suatu ilmu yang dicelup ajaran Islam dalam membahas hakikat kebenaran segala sesuatu.
Banyak di kalangan para ahli berbeda dalam menanamkan filsafat Islam. Apakah ia merupakan filsafat Islam atau filsafat Arab atau ada nama lain dari kedua istilah itu.
Prof. Mu'in, menyatakan apabila filsafat itu disebut dengan Filsafat Arab, berarti mengeluarkan orang Iran, orang Afghanistan, orang Pakistan, dan orang India. Oleh karena itu memilih dengan Filsafat Islam. Demikian pula orientalis Perancis Courbin, seorang Islamolog dan kebudayaan Iran, membela dengan Filsafat Islam. Sebagaimana dikatakannya. Jika kita mengambil nama Filsafat Arab, pengertiannya sempit sekali bahkan keliru.
Berbeda dengan As-Sahrawardi Ar-Razi, beliau lebih suka memilih pendapat yang menamakannya Filsafat di dunia Islam, adapun Mauric de Wild, Emik Brehier dan Lutfi As Sayid menyebutkan dengan Filsafat Arab. Pada umumnya pendapat yang menyebutkan Filsafat Arab beralasan bahwa filsafat itu ditulis dalam bahasa Arab, atau ia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan menambah unsur-unsur baru dalam bahasa Arab.
Sebenarnya perbedaan istilah tersebut hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimanapun juga hidup dan suburnya pemikiran filsafat tersebut adalah di bawah naungan Islam dan kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan Filsafat Arab ialah bahwa filsafat tersebut adalah hasil orang Arab semata-mata, maka tidak benar. Sebab kenyataan menunjukkan bahwa Islah telah mempersatukan berbagai-bagai umat, dan kesemuanya telah ikut serta dalam memberikan sumbangannya dalam filsafat tersebut. Sebaliknya kalau yang dimaksud dengan filsafat Islam adalah hasil pemikiran kaum muslimin semata-mata, juga berlawanan dengan sejarah, karena mereka pertama-tama berguru pada aliran Nestorius dan Yacobias dari golongan Masehi, Yahudi dan penganut agama Shabi’ah, dan kegiatan mereka dalam berilmu dan filsafat selalu berhubungan dengan orang-orang Masehi dan Yahudi yang ada pada masanya.
Namun pemikiran-pemikiran filsafat pada kaum muslimin lebih tepat disebut filsafat Islam, mengingat bahwa Islam bukan saja sekedar agama, tetapi juga peradaban. Pemikiran filsafat ini sudah barang tentu berpengaruh oleh peradaban Islam tersebut, meskipun pemkiran itu banyak sumbernya dan berbeda-beda jenis orangnya. Corak pemikiran tersebut adalah Islam, baik tentang problem-problemnya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah memadu dan menampung aneka peradaban serta pemikiran dalam satu kesatuan. Apabila hal ini ditunjang dengan pemakaian buku-buku yang berasal dari filosuf Islam seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, ataupun Al-Farabi.


2.      Apa Yang Dimaksud Dengan Corak Pemikiran Filsafat Islam?
Filsafat Islam pada dasarnya bertujuan untuk mempertemukan antara agama dengan filsafat. Permasalahan yang kemudian timbul adalah bagaimana mempertemukan agama sebagai wahyu Tuhan dengan filsafat sebagai hasil ciptaan dan pikiran manusia. Permasalahan ini muncul ketika kebenaran agama harus dipertemukan dengan kebenaran filsafat yang berlandaskan pemikiran dan logika manusia.
Alternatif jawaban atas pertanyaan tersebut tidak lebih dari tiga kemungkinan. Pertama, berpegang teguh kepada agama dan menolak filsafat. Ini adalah pendapat orang beragama yang tidak berfilsafat. Kedua, sebaliknya, berpegang teguh kepada filsafat dan menolak agama, dan ini adalah pendapat orang yang berfilsafat dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah agama. Ketiga, mengupayakan pemaduan antara filsafat dengan agama menurut cara tertentu, dan cara inilah yang ditempuh oleh para filosof muslim ataupun para filosof yang memperhatikan wacana filsafat.
Wacana tentang pemaduan antara agama dan filsafat termasuk salah satu obyek kajian yang menjadi tuntutan lingkungan islam terutama menurut para filosof. Para filosof Islam sebenarnya mempercayai bahwa agama adalah suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan. Dan mereka menghormati nilai-nilai serta prinsip-prinsipnya. Namun mereka juga percaya akan keluhuran dan orisinalitas filsafat. Mereka melihat filsafat sebagai kebenaran yang tak diragukan, dan oleh karenanya, mereka tidak ingin mengorbankan filsafat karena agama dan tidak ingin membunuh agama demi filsafat. Untuk itu, tidak ada jalan lain kecuali berupaya memadukan agama dan filsafat serta menyingkirkan hal yang nampak bertentangan (paradoks) di antara keduanya. Ini berarti bahwa ide sinkretisme secara esensial adalah suatu keharusan bagi mereka, selama mereka berpegang teguh pada filsafat dengan tanpa mengurangi keteguhan mereka dalam memegang Islam serta meletakkan filsafat pada posisi yang sejajar dengan Islam.

  1. Hubungan Akal dan Hati
Manusia memiliki alat epistemik yang tak bisa di pisahkan darinya karena kedua alat epistemik itu adalah pencelupan yang di berikan oleh sang pencipta. Pencelupan yang di berikan itu adalah akal dan hati. Mari kita bandingkan pencelupan yang manusia berikan kepada seseorang yang ingin menikah, ia akan dimandikan terlebih dahulu sebagai simbolisasi bahwa yang akan menikah ini menjadi suci dari pikiran-pikiran kotor ketika telah menikah. Timbul pertanyaan kemudia, apakah pencelupan yang diberikan itu merupakan sesuatu yang mutlak, dimana ia betul-betul suci dari pikiran kotor? Jawabannya adalah tidak mutlak, ia hanya bersifat mengkin. Oleh karena itu tak ada yang menandingi pencelupan yang diberikan oleh tuhan, dimana pencelupan tersebut bersifat mutlak adanya.
Agama kadang kala memenjarakan salah satu alat epistemik ini dan hanya menonjolkan satu alat epistemik saja. Kita bisa melihat dalam prakteknya kadang kala muslim tidak menggunakan dalil-dalil akli ketika ia berhadapan dengan yang selain muslim. Ini merupakan praktek yang memenjarakan pencelupan tuhan. Sebagai manusia yang memiliki pencelupan alat epistemik yang mutlak, maka pemenjaraan apapun yang muncul tidak akan bisa bertahan lama, karena pada diri manusia juga memiliki fitrah yang menggerakannya pada pemberontakan terhadap penjara tersebut.
Sebagai ummat muslim yang tak mau terpenjara oleh doktrin-doktrin saja, maka kita diharuskan untuk menggunakan akal dan hati kita agar kita betul-betul bisa sampai pada wujud yang sempurna yakni sang khalik. Hanya dengan menggunakan kedua alat epistemik itu, sehingga kita bisa kembali pada-Nya.
Jika kita berkeyakinan seperti yang telah dipaparkan diatas timbullah pertanyaan bagi kita apakah kita bisa mengetahui bahwa tuhan itu ada tanpa adanya doktrin-doktrin? Jawabannya adalah bisa karena keberadaan tuhan itu sangat jelas dan mudah, dalam ilmu logika ini biasa disebut dharuri. Kalaupun Dia bisa dibuktikan dapatkah ia di Imani? Jawabannya bisa karena mengimaninya adalah suatu konsekuensi logis dari pembuktian kita. Untuk lebih jelasnya agar tidak terkesan doktrinal, maka kami akan menjelaskan hubungan antara akal dan hati itu bagaimana.
Terlebih dahulu penulis akan menjelaskan perbedaan-perbedaan makna dari kata yang biasanya diabaikan oleh para pemikir-pemikir islam khususnya indonesia. Terlebih dahulu kita membedakan apa yang dimaksud dengan keyakinan dan keberimanan.
Keyakinan adalah penilaian yang dihukumi oleh akal dari relitas, yang dimana penilaian itu telah dapat dinilai benar atau salahnya sesuatu itu. Sedang keimanan adalah kepercayaan yang dihasilkan dari apa yang di nilai oleh hati yang dimana ia merupakan hasil transfer dari akal. Dimana hati menghukumi sesuatu yang agung dan suci.
Dengan demikian keyakinan (akal) dan keimanan (hati) merupakan saling berhubungan dimana keduanya merupakan penilaian yang di dapatkan dari realitas akan tetapi keimanan (hati) hanya menangkap penilaian yang sakral (suci dan agung) saja. Misalnya akal menilai bahwa api, jin, kayu, tuhan itu ada kemudian ditransfer ke hati bahwa tuhan itu ada. Atau dengan kata lain tidak semua yang diyakini itu ada sekaligus di imani.

4.      Pengaruh Filsafat Terhadap Perkembangan Pemikiran Islam
Proses sejarah masa lalu, tidak dapat dielakkan begitu saja bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani. Para filosuf Islam banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan mereka banyak tertarik terhadap pemikiran-pemikiran Platinus. Sehingga banyak teori-teori filosuf Yunani diambil oleh filsuf Islam.
Demikian keadaan orang yang dapat kemudian. Kedatangan para filosuf Islam yang terpengaruh oleh orang-orang sebelumnya, dan berguru kepada filsuf Yunani. Bahkan kita yang hidup pada abad ke-20 ini, banyak yang berhutang budi kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Akan tetap berguru tidak berarti mengekor dan mengutip, sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles, sebagaimana yang dikatakan oleh Renan, karena filsafat Islam telah mampu menampung dan mempertemukan berbagai aliran pikiran. Kalau filsafat Yunani merupakan salah satu sumbernya, maka tidak aneh kalau kebudayaan India dan Iran juga menjadi sumbernya. Pertukaran dan perpindahan suatu pikiran bukan selalu dikatakan utang budi. Suatu persoalan dan hasilnya dapat mempunyai bermacam-macam corak. Seorang dapat mengemukakan persoalan yang pernah dikemukakan oleh orang lain sambil mengemukakan teorinya sendiri. Spinoza, misalnya, meskipun banyak mengutip Descartes, ia mempunyai mahzab sendiri. Ibnu Sina, meskipun menjadi murid setia Aristoteles, ia mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.
Para filsuf Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari apa yang dialami oleh filsuf-filsuf lain. Sehingga pengaruh lingkungan terhadap jalan pikiran mereka tidak bisa dilupakan. Pada akhirnya, tidaklah dapat dipungkiri bahwa dunia Islam berhasil membentuk filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam itu sendiri.

5.      Kategori-Kategori Bentuk Pemikiran Filsafat Islam
Mazhab masya’iyyah (Paripatetik)
Ibn Rusyd (1126-1198) memang bukan filosof Islam tersohor yang pertama, juga kita bisa mengatakan bahwa ia bukanlah yang terbesar di antara sekian banyak filosof Islam. Ibn Rusyd, nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Muhammad ibn Rusyd; di Barat dan di dalam literatur Latin dikenal dengan nama Averroes. Ia dilahirkan di Cordova pada 520 H (1126 M) dari keluarga alim yang menganut Mazhab Maliki, mazhab yang sangat dominan dalam wilayah Maghribi dan Andalusia ketika itu. Kakeknya dari pihak ayah pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia, di samping sebagai ahli hukum terkemuka dari Mazhab Maliki. Dari keluarga inilah Ibn Rusyd mewarisi tradisi intelektual yang sangat kuat, sehingga ia menjadi salah satu tokoh yang sangat disegani. Ibn Rusyd wafat di Maroko pada tanggal 9 Safar 595 H (10 Desember 1198 M). Tiga bulan setelah kematiannya, jenazahnya dipindahkan ke Cordova dan dikebumikan di pekuburan keluarganya.
Ibn Rusyd, dalam literatur filsafat, dikenal sebagai penafsir pemikiran Aristoteles, dan karena itu ia dijuluki “komentator Aristoteles” (The Commentator). Dalam pandangannya, Aristoteles adalah manusia istimewa dan pemikir terbesar yang telah mencapai tingkat kebenaran paripurna. Ibn Rusyd berkeyakinan bahwa jika filsafat Aristoteles dapat dipahami dengan sebaik-baiknya, pasti tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang mampu dicapai oleh manusia.
Sekalipun Ibn Rusyd dikenal sebagai Komentator Aristoteles, tetapi bukan berarti ia sangat memahami pikirannya. Ketidakmampuan Ibn Rusyd dalam Bahasa Yunani, dimana buku-buku Aristoteles ditulis dalam bahasa itu, menjadi alasannya. Ia lebih banyak mempelajari pemikiran Aristoteles melalui buku-buku terjemahan dan ulasan-ulasan para ahli. Al-Iraqi mengatakan, “Ibn Rusyd tidak mengenal bahasa Yunani, oleh karena itu ia mempergunakan terjemahan-terjemahan para ahli seperti Hunain ibn Ishak, Yahya ibn Ady, dan Abu basyar Mata, lalu ia membandingkan terjemahan-terjemahan tersebut sehingga ia menemukan yang lebih kuat di antaranya”. Terlepas dari itu, Ibn Rusyd berusaha membersihkan pemikiran Aristoteles dari ketercampuran dengan pemikiran Plotinus, dan termasuk kesalahpahaman dari pemikir-pemikir Islam yang dikritik oleh Ibn Rusyd, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina.
Filsafat Ibn Rusyd, seperti juga pendahulunya, berusaha memadukan dan menyelaraskan antara filsafat dan agama. Para filosof berkeyakinan bahwa antara agama dan filsafat bukan hanya tidak ada pertentangan bahkan ada harmoni. Sudah jamak diketahui bahwa ada sekian banyak ketidaksenangan dan kecurigaan yang mengemuka terhadap filsafat. Sejak corak berpikir rasional yang dibawa oleh Mu’tazilah hingga tampilnya para filosof, selalu ada anggapan bahwa pemikiran-pemikiran yang dilahirkan cenderung menjauhkan orang dari ajaran Islam yang benar. Serangan paling nyata ditunjukkan oleh al-Ghazali melalui bukunya Tahafut al-Falasifah. Al-Ghazali mengecam pandangan filsafat dan menuduh filosof ingin menanggalkan keyakinan agama dan mengabaikan dasar-dasar agama. Karena itu, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahli bid’ah. Tiga persoalan mendasar yang menjadi serangan al-Ghazali adalah tentang qadimnya alam, pengetahuan Tuhan, dan kebangkitan sesudah mati.
Sebagai seorang filosof, Ibn Rusyd berusaha mendudukkan persoalan hubungan agama dan filsafat ini serta membela para filosof dari tuduhan-tuduhan tersebut. Ibn Rusyd kemudian menulis beberapa buku sebagai counter atas tuduhan tersebut, yaitu Fashl al-Maqal fi ma Baina al-Hikmah wa asy-Syari’ah, al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘aqa’id al-Millah), dan Tahafut at-Tahafut sebagai sanggahan langsung atas tuduhan al-Ghazali.
Pembelaan Ibn Rusyd tidak kemudian menyeretnya pada posisi ekstrim yang hanya berpegang pada rasio dengan mengabaikan agama. Ia berupaya menempuh jalan tengah dengan mengatakan bahwa syariat (agama) dan filsafat saling membutuhkan satu sama lain. Penjelasan Ibn Rusyd tentang hubungan agama dan filsafat menekankan pada; pertama, bahwa syariat dan agama mengharuskan melakukan kegiatan berfilsafat. Dalam buku Fashl al-Maqal, Ibn Rusyd mengawali kajiannya dengan mempertanyakan bagaimana hukum mempelajari filsafat dan ilmu mantik (logika). Menjawab persoalan ini, Ibn Rusyd berargumen bahwa berfilsafat tidak lain adalah mempelajari segala wujud yang tampak dengan tujuan mengambil i’tibar, sehingga bisa mengantar kepada bukti keberadaan Tuhan sebagai Pencipta. Maka kerja filsafat pada hakikatnya adalah untuk mengenal Tuhan sebagai pencipta alam. Dan di sisi lain, syariat mendorong manusia untuk melakukan penalaran terhadap alam. Banyak ayat al-Qur’an yang memeerintahkan manusia untuk menalar, merenungi fenomena alam, dan mengambil i’tibar. Di antara ayat-ayat tersebut adalah QS. Al-Hasyr/59: 2, al-An’am/7: 185, al-Ghasyiyah/88: 17-20, dan Ali Imran/3: 191.
Untuk mendapatkan i’tibar dan pengetahuan tentang Tuhan, seseorang tidak harus terikat hanya pada kebenaran yang bersumber dari Islam.  Orang-orang di luar Islam, seperti filosof-filosof Yunani, juga ada yang berhasil mencapai kebenaran dengan metode penelitian mereka. Dan Islam tidak menghalangi untuk menerima kebenaran dari mereka. Justru, jika ada yang menghalangi untuk mempelajari karya-karya filsafat pra Islam, berarti ia telah menghalangi manusia untuk masuk ke pintu pengenalan terhadap Tuhan, yaitu pintu penalaran kritis dan rasional.
Kedua, syariat menurut Ibn Rusyd mempunyai makna eksoteris yang ditujukan kepada golongan awam, sementara makna esoteris Islam yang terdapat dalam penalaran filosofis ditujukan kepada kaum terpelajar. Pembedaan makna eksoteris dan esoteris ini, menurut Ibn Rusyd, sesuai dengan tingkatan dan kapasitas kemampuan manusia dalam menerima kebenaran. Ibn Rusyd membagi tingkat rasionalitas manusia menjadi tiga kelompok, yaitu al-khitabiyah (kelompok retoris/awam), ahl al-Jadal (kelompok dialektis/teolog), dan al-burhaniyah (kelompok demonstratif/filosof). Kelompok pertama dan kedua digolongkan sebagai kelompok awam yang bermain pada makna eksoteris, sementara kelompok ketiga adalah kelompok khawwash; manusia yang berpikir kritis dan bermain pada makna esoteris.
Kebahagiaan kelompok awam terletak pada kesungguhan mereka dalam mengimani teks-teks agama dan mengamalkannya, tanpa harus mempersoalkan pertimbangan kritis dan rasionalitas; sedangkan bagi kelompok khawwash, beragama tidak hanya sekedar mengimani tetapi juga mengetahui makna-makna esoteris, melalui penalaran kritis dan rasional.
Pengelompokan ini menurut Ibn Rusyd sesuai dengan semangat ayat Q.S. an-Nahl/16:125 yang menganjurkan untuk mengajak manusia kepada kebenaran dengan jalan hikmah; pelajaran yang baik dan debat yang argumentatif.
Makna-makna esoteris yang menjadi titik pencarian kelompok khawwash bisa dicapai dengan cara ta’wil (hermeneutika). Ibn Rusyd menyadari bahwa ada ayat-ayat al-Qur’an yang secara sepintas tampak bertentangan dengan rasio. Terhadap ayat-ayat semacam ini, Ibn Rusyd menegaskan bahwa ayat-ayat tersebut harus diteliti secara komprehensif, tidak sepotong-sepotong, dan untuk itu diperlukan penakwilan. Penggunaan ta’wil dalam menelusuri makna terdalam atau tersembunyi dari ayat-ayat al-Qur’an adalah konsekuensi logis dari pernyataan syariat bahwa al-Qur’an mengandung makna lahiriyah yang tercerap dalam ayat-ayat muhkam dan makna batiniyah dalam ayat-ayat mutasyabih.
Ta’wil, menurut Ibn Rusyd, adalah  mengeluarkan suatu lafaz dari konotasinya yang hakiki, yang lahir, kepada konotasi majazi, metaforis, tanpa merusak susunan dan tata bahasa Arab. Penekanan bahwa ta’wil tidak boleh keluar dari kaedah tata bahasa Arab kiranya diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan makna ta’wil dan tidak terseret pada penafsiran bebas yang keluar dari aturan main ta’wil itu sendiri. Ibn Rusyd memandang perlu tata aturan ini demi kebaikan agama dan filsafat sekaligus. Penylahgunaan atas nama takwil hanya akan menyeret agama semakin jauh dari maknanya yang sebenarnya (tidak akan mencapai makna esoterisnya) dan akan semakin menebalkan tuduhan penyimpangan pada filsafat.
Dengan penjelasan di atas, jelas bahwa Ibn Rusyd berusaha menempatkan agama dan filsafat pada posisinya masing-masing dan membangun jembatan untuk menghubungkan keduanya secara harmonis.

Mazhab Isyraqiyyah (Illuminisme
Filsafat Isyraqiyyah atau iluminisme adalah sebuah pemikiran filosofis yang dasar epistemologinya adalah hati atau intuisi. Secara prosedural, logika yang dibangun adalah sama dengan logika emanasi dalam paripatetisme. Namun secara substansial keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar.
Tokoh pelopor munculnya filsafat iluminatik ini adalah Suhrawardi. Nama lengkapnya adalah Sihabuddin Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu Alfutuh Suhrawardi. Ia dilahirkan di di kota kecil, Suhraward, Persia lau pada tahun 549/1154 M. Suhrawardi disebut juga Al-Syaikh Al-Maqtul, seperti halnya Socrates, ia dibunuh oleh penguasa Islam pada waktu itu karena pemikiran filsafatnya yang dianggap menentang maenstream pemikiran pada waktu itu.
Filsafat Isyraqiyyah ini pada mulanya digunakan Suhrawardi untuk mengkritik filsafat peripatetiknya Ibnu Shina. Dalam serangannya yang mungkin paling sengit pada Ibnu Shina, Suhrawardi menolak secara empatik pandangan Ibnu Shina sebagai filsof Timur (masyriqi). Dalam pandangan Suhrawardi, filsafat Paripatetik yang diusung oleh Ibnu Shina dan kawan-kawan tidak layak diklaim sebagai filsafat Timur. Ada perbedaan yang mendasar antara filsafat paripatetik dengan filsafat Timur. Serangan dan kritik utama Suhrawardi lebih merujuk pada buku yang berjudul Kararis al-Hikmah, yang dinisbahkan oleh Ibnu Shina sebagai metode filsafat timur.
Pertama-tama Suhrawardi menegaskan karaguan atas klaim Ibnu Shina bahwa Kararis didasarkan atas prinsip-prinsip ketimuran. Kemudian, ia melanjutkannya dengan menolak sengit penegasan Ibn Shina bahwa Kararis merupakan filsafat baru atas dasar sepasang argumen berikut: Pertama, tidak ada filsafat Timur sebelum Suhrawardi menciptakan filsafat iluminasi. Kedua, Suhrawardi bersikeras menunjukkan bahwa Kararis sesungguhnya disusun semata-mata sesuai dengan kaidah-kaidah Peripatetik (qawaid al-masyasya’in) yang sudah mapan, yang terdiri dari masalah-masalah yang hanya dimasukkan dalam apa yang olehnya dikhususkan sebagai philosophia generalis (al-hikam al-ammah).
Epistemologi Isyraqiyyah 
Dalam bagian dari jenis keilmuan, filsafat iluminisme atau isyraqiyyah ini adalah bagian dari pengetahuan khudluri (knowledge by preson). Ilmu khudluri adalah ilmu yang didapatkan secara langsung oleh seseorang melalui pengalaman kehidupannya. Dalam pengetahuan dan kesadaran ini, pengetahuan dan subyek serta obyek sama sekali tidak dapat dipilah-pilah. Kemanunggalan subyek dan obyek pengetahuan ini adalah istanta (instance/mishdaq) paling sempurna dari kehadiran obyek pengetahuanb pada subyek pengetahuan. Karena prinsip dasar illuminisme adalah bahwa mengetahui sesuatu berarti memperoleh pengalaman tentangnya, serupa dengan intuisi primer terhadap determinan-determinan sesuatu. Apa yang ingin dijelaskan oleh Suhrawardi dalam filsafatnya adalah pengalaman pribadinya sendiri, yaitu pengalaman sehari-hari yang sampai pada titik tertentu ia bisa mencapai realitas puncak tertinggi (ultimate reality).
Dengan demikian, metodologi untuk mendapatkan pengetahuan ini bukanlah melalui cerapan indera, tetapi melalui pelatihan spiritual atau riyadlah. Karena pengetahuan semacam ini, saran yang dibutuhkan adalah kebersihan dan kesucian hati. Bagi seseorang yang mencapai kebersihan hati, maka secara langsung ia akan mendapatkan pengalaman tentang realitas hakiki (ultimate reality). Dalam perolehanya jiwa atau hati (qolb) mengalami keterbukaan (mukasyafah) sehingga ia akan terlimpahi oleh pancaran cahaya dari sumber cahaya itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Suhrawardi sendiri bahwa prinsip filsafat Isyraqiyyah adalah mendapat kebenaran lewat pengalaman intuitif, kemudian mengelaborasi dan memverivikasinya secara logis rasional.
Kemudian bagaimana gambaran atau bentuk dari penegtahuan iluminasi yang masuk kategori klhudluri ini? Secara umum sebenarnya hampir sama dengan filsafat emanasi. Di situ terdapat tangga-tangga wujud (existence) mulai dari wujud satu hingga sebelas. Jadi secara formal bentuknya sama dengan filsafat emanasi dalam parepatatisme yang mendahuluinya, dalam isyraqiyyah wujud mempunyai hirarki-hirarki, dari yang paling atas sampai terbawah. Hanya saja kalau dalam filsafat emanasi setiap tingkat diidentikkan dengan intelek, maka dalam filsafat Isyraqiyyah tingkatan-tingkatan tersebut diidentikkan dengan nur (cahaya).
Jadi seperti yang dijelaskan dalam filsafat paripatetik bahwa yang namanya wujud itu bukan satu tingkat tetapi bertingkat-tingkat. Wujud ini diistilahkan dengan akal. Maka dalam paripatetik selalu populer dengan istilah akal satu, akal dua, akal tiga dan sebagainya. Ini merupakan penggambaran hirarkisitas aktualisasi wujud tersebut. Semakin jauh tingkat wujud tersebut dari wujud utama, maka wujud tersebut kualitasnya semakin rendah dan begitu sebaliknya, semakin tinggi tingkatan wujud tersebut hingga mendekati aqal pertama maka kualitas wujud tersebut semakin suci dan luhur.
Begitu juga dengan iluminasi. Wujud di sini secara material diidentikan bukan dengan cahaya melainkan dengan cahaya. Sehingga ada cahaya utama yang merupakan cahaya maha cahaya, dari cahaya utama ini merupakan mewujudkan cahaya pertama, cahaya pertama mewujudkan cahaya ke dua, dari cahaya ke dua mewujudkan cahaya ke tiga dan seterusnya hingga sampailah cahaya yang terrendah yakni tingkatan cahaya yang dekat dengan alam materi.
Sekarang pertanyaannya adalah mengapa cahaya begitu penting dalam filsafat iluminismenya Suhrawardi? Kenapa bukan aqal yang menjadi sarana atau materi utama dalam mengartikulasikan filsafatnya? Karena ia lebih suka menggunakan keraifan lokal (local wisdom) dari nenek moyangnya yaitu budaya zoroasterisme. Jadi pada prinsipnya secara material, filsafat Suhrawardi ini bukan an sich dari Yunani maupun dari wahyu Islam, tetapi yang terutama dalah dikonstruk dari budaya lokal, yakni budaya ketimuran. Hikmatul Isyraqiyyah yang berarti kebijakan Timur adalah pengalaman ilahiyah yang sudah ada sebelum Suhrawardi lahir yang dibawa para wali-wali dan orang suci (Ancient Person). Ini merupakan wujud obsesinya untuk mengkritik keras filsafatnya Ibnu Sina yang sebelumnya dikatakan sebagai filsafat Timur seperti disinggung di atas. Jadi, melalui term Hikmatul Isyraqiyyah ini Suharawardi hendak mengatakan bahwa filafat iluminisme ini adalah filsafat yang khas sebagai representasi absah dari peradaban Timur, karena secara sosio-cultural, ia diramu dari tradisi-tradisi klasik Timur yang dikenal dengan tradisi zoroasterian.
Namun seperti yang dikatakan di atas, meskipun ini merupakan jenis pengalaman spiritual, namun ketika sudah didapatkan bukan berarti ia menjadi realitas yang tak terbahasakan. Tetapi bagi Suhrawardi pengalaman itu justru harus dikonfirmasikan, didiskursuskan secara logis.
Menurutnya ada beberapa metode yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendapatkan pengetahuan model iluminasi ini. Tahap pertama, seseorang harus membersihkan diri dari kecenderungn diri, dari kecenderungn duniawi untuk menerima pengetahuan duniawi. Kedua, setelah menempuh tahap pertama, sang filsof memasuki tahap iluminasi yang di dalamnya ia mendapatkan penglihatan akan sinar ketuhanan (An-nur Ilahiyah) serta mendapatkana apa yang disebut dengan cahaya ilham (Al-Anwarus Sanihah). Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang utuh, di dasarkan atas logika diskursif. Keempat adalah tahap pengungkapan dan penulisannya.
2. Madzhab Isfahan/ wujudiyah

Filsafat madzhab Isfahan ini lebih dikenal dengan Al-Hikamtul Muta’aliyyah atau fislafat tinggi. Munculnya madzhab Isfahan ini tak terlepas dari pergelokan politik pada waktu itu. Isfahan adalah sebuah daerah di daratan Persia. Istilah ini mula-mula dipopulerkan oleh Nasr, Corbin Asytiyani dan selanjutnya diperluas oleh sarjana-sarjana lainnya. Pendiri madzhab ini adalah Mir Damad yang kelak melahirkan murid tersohornya: Mulla Shadra sebagai penerus dan pengembang madzhab Isfahan ini. Oleh karena itu filsafat Hikmah (Al-Hikmatul Muta’aliyyah) atau mdazhab Isfahan ini merupakan fiilsafat yang bermuara pada kedua tokoh guru murid tersebut.
Madzhab ini muncul ketika dinasti Shafawiyah mulai memindahkan ibukotanya dari Tibriz, kemudian ke Qazwin dan terakhir di Isfahan. Pada periode ini, Madzhab Isfahan berhasil membangun teologi yang kukuh, dan Persia mengalami salah satu periode terbesar dalam kemakmuran politik dan materialnya. Namun pada perjalanan selanjutnya, dalam usaha yang tak kenal untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya dinasti shafawiyyah membutuhkan ahli fiqh dan para ahli Syi’ah dogmatis. Ini belum lagi para pengkhutbah dan para ulama yang ditugaskan untuk menyebarluaskan idiologi negara.
Inti madzhab isfahan ini adalah upaya untuk menyatukan kekuatan yang beragam dan bertentangan dalam sejarah intelektual Islam ke dalam kesatuan epistemologis dan ontologis yang selaras. Hingga puncak gerakan ini pada diri Mulla Shadra As-Syirazi, upaya-upaya Mir Damad haruslah dianggap sebagai kerangka persiapan.
Pada mulanya terdapat beragam pertentangan intelelektual Islam. Satu sisi ada kelompok filafat, kemudian kaum sufistik dan dogmatikawan Syi’ah. Ketiga kelompok ini memunculkan pandangan yang berbeda sehingga berpotensi menimbulkan perpecahan. Hal ini terutama para doktrinal Syi’ah yang didukung oleh penguasa Shafawiyyah hendak membabat habis para filsof. Praktik filsafat yang diupayakan oleh para filsof Persia dianggap sebagai amalan berbahaya dan mempunyai resiko bahay bagi merek asendiri.
Hal ini mempengaruhi terhadap kebijakan politik Bani shafawiyyah. Penguasa shafawiyyah tidak mengalokasikan anggaran untuk studi filsafat. Hal ini diperparah dengan serangan yang keras dari para dogmatikawan Syi’ah. Mereka menilai negatif para filsof dengan menganggap bahwa para filsof adalah orang-orang kafir dan menghina Tuhan. Tantangan yang hendak dipenuhi oleh madzhab Isfahan adalah mengawinkan semua diskursus yang beragam dan bertentangan mengenai pemhaman yang sah yang secara historis telah mengkotak-kotakan kaum muslimin dan selanjutnya menemptkan Syi’ah yang memimpin semua itu. Butir-butir penting sisnya bukan hanya membuat tradisi filsafat madzhab peripatetik dan ilumininsme, melainkan juga gnosis versi Ibnu Arabi san Syai’ah periode pasca Ghaibah.
Terilhami oleh cita-cita itu, Mulla Shadra, sebagai murid kaliber Mir Damad, kemudian mengembangkan filsafat yang revolusioner dan ambisius dalam upaya membuat sintesis yang menyeluruh, bukan hanya antara orientasi-orientasi beragam dalam tradisi paripatetik dan illuminisme Islam, melainkan yang lebih mendasar lagi, mengkoordinasikan sintesis yang sulit itu dengan dioktrin gnosis dan doktrin fiqh Syai’ah. Filsafat ini secara umum bertumpu pada tiga teori yaitu kesatuan wujud (wahdatul wujud), keutamaan wujud (ashalatul wujud), gerak substansial (alkharokatul jauhuhariyyah) dan kemanunggalan yang menmgetahui dan diketahui (ittihad al-‘aqil wa ma’qul). Filsafat ini berusaha menjembatani antara paradigma rasional empiristik dengan spiritula –mistik. Oleh karena itu, titik tolak dari seluruh bangunan filsafat Isfahan ini adalah konsep Ada (wujud). Jadi obyek material filsafat ini yang paling pokok adalah Being atau Ada.
Sebelumnya, ketika masih di tangan Mir Damad filsafat ini berpijak pada keberhasilan berkelanjutan diskursus-diskusus Paripatetik (rasionalistik-aristotelian) dan iluminisme (spiritual) yang dominan dalam jagat diskurusus filsafat Islam di masa Ibnu Shina dan suharawardi. Baik Mir Damad maupun Mulla Shadra mencela praktik spiritual-sufistik hingga melalaikan rasio dan juga sebaliknya para ahli fiqh yang dogmatis. Bahkan Mulla Shadra mengecam keras kaum sufi yang mabuk maupun para fiqh yang literalis.








Bab. III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pemikiran filsafat islam merupakan hasil penggabungan antara pikiran dan keimanan ummat islam. Meskipun memiliki corak pemikiran tersendiri ia –filsafat islam– hanya memperkuat dan memperkaya penafsiran-penafsiran mengenai filsafat. Ini karena tidak terlepasnya dari tiga komponen yang ada dalam filsafat, yakni ontology,  epistemology dan aksiologi.
Mengenai ketiga komponen filsafat ini, filsafat islam memiliki corak tersendiri yang tak sama dengan filsafat yang lainnya. Misalnya masya’ iyah memiliki karakter akalnya, israqiyyah memiliki karakter pembersihan dirinya dan wujudiyah yang memiliki karakter sintesisnya dari keduanya(masya’iyyah dan israqiyya).


B.     Saran
Untuk mengetahui pemikiran filsafat islam terlebih dahulu kita mengetahui apa yang dimaksud dengan filsafat ilmu yang memiliki komponen ontology, epistemology dan aksiology, agar dapat membedakan mana filsafat yunani, barat timur dan islam itu sendiri.





Daftar Pustaka

            Achmad, Arianto. 2009. Landasan dan Kerangka Berpikir Ilmiah dan Filosofis; Sebuah Pengantar Epistemology. Makasar: Yayasan Foslamic
            Ash-sadr, Muhammad Baqir. 1993. Falasafatuna. Bandung: Mizan.
            Muttahhari, Murthadha. 2001. Manusia dan Takdirnya; Antata Free Will dan Determinisme. Bandung: Muthahhari Paperbacks.
            Khamenei, Ali. 2005. Perang Kebudayaan. Jakarta Selatan: Cahaya.
            Achmadi, Asmoro. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajagrapindo Persada.
            Nasution, Harun. 1991. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
            Poespoprodjo. 1999. Filsafat moral. Bandung: pustaka grafika
            Bagir, Zainal Abidin. 2005. Integrasi Ilmu dan Agama;  Interpretasi dan Aksi. Bandung: Mizan
            Renard, jhon. 2004. Dimensi-dimensi Islam. Jakarta: Inisiasi Press.
            Ahmad, Fareed dan Salahuddin Ahmad. 2008. 5 Tantangan Abadi Terhadap Agama dan Jawaban Islam Terhadapnya. Bandung: Mizan.
              Jacokbs, Tom. 2002.  Paham ALLAH; Dalam Filsafat, Agama-agama dan Teologi. Semarang: Kanisius.

1 komentar:

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.cc
    dewa-lotto.vip

    BalasHapus